Selasa, 27 April 2010

Isi Surat Amnesty Internasional pada Obama

Di bawah ini surat yang disinyalir dari Amnesty dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
Hidayatullah.com—Surat yang ditengarai dari Amnesty Internasional pada Presiden AS, Barack Obama itu berjudul “Amnesty Int'l USA letter to President Obama on Indonesia”. Selain dimuat di beberapa milis Indonesia, juga dimuat lengkap di situs LSM liberal, ANBTI (Aliansi Bhinneka Tunggal Ika).

Selain berisi “tekanan” pada militer Indonesia, juga ada titipan menyangkut aktivitas Front Pembela Islam (FPI) dan UU Penodaan Agama yang kini kasusnya sedang dibahas di Mahkamah Konstitusi (MK).

Di bawah ini suratnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia;

“Surat Amnesty Internasional  kepada Obama Menjelang Kunjungannya ke Indonesia”

2 Maret 2010

Yth. Barack ObamaPresiden Amerika Serikat
Gedung Putih
1600 Pennsylvania Avenue NW
Washington, DC 20500

Yang Terhormat Bapak Presiden,


Sebagaimana Anda sedang bersiap untuk melakukan perjalanan dalam rangka membangun Kerjasama Menyeluruh AS-Indonesia, Amnesty Internasional ingin agar Anda memperhatikan situasi hak asasi manusia di Indonesia dan mendesak agar Anda menekan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakuan perbaikan HAM yang berarti. Kegagalan melakukan hal tersebut akan memberikan sinyal keliru; bahwa AS tidak peduli dengan masalah HAM di Indonesia.

Selama di Indonesia, kami mendesak Anda untuk bertemu dengan para pembela HAM dan keluarga korban kekerasan pemerintah, khususnya mereka yang tewas selama pergolakan politik tahun 1965. Kami juga mendesak Anda untuk menyatakan secara terbuka peran HAM yang akan dimainkan dalam kerjasama menyeluruh AS-Indonesia, dan menegaskan bahwa HAM memainkan peran penting sebagaimana bidang perdagangan dan keamanan. Mohon agar memerintahkan pemimpin Indonesia berperan dalam pembentukan Badan HAM di ASEAN. Mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk terus berperan aktif dalam badan ini dan menawarkan bantuan dalam melakukan tugasnya.

Meskipun Indonesia telah berupaya menghormati HAM selama bertahun-tahun, banyak hal yang harus diselesaikan untuk melindungi hak-hak dasar warga negara Indonesia. Kami ingin menyoroti kepedulian kami dalam masalah HAM.

Mengatasi Masalah Impunitas

Para pelanggar HAM besar tidak dihukum di Indonesia. Satu contoh yang jelas kelihatan adalah kegagalam pemerintah pengganti untuk membawa diktator militer Suharto ke pengadilan, dalam kasus pembunuhan setengah hingga satu juta orang pada tahun 1965. Ia juga tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas kematian sekitar 100.000 rakyat Timor Timur. Ini adalah salah satu alasan utama mengapa impunitas menjadi sebuah masalah serius di Indonesia hingga saat ini.

Reformasi Kerjasama AS-Indonesia Bidang Militer

Kerjasana militer AS-Indonesia harus memastikan pengembangan kemampuan profesional petugas keamanan Indonesia dan harus dikaitkan dengan membawa para pelanggar HAM ke pengadilan. Khususnya dalam upaya akhir-akhir ini untuk menggaet Pasukan Khusus Kopassus.

Permintaan: Semua kerjasama militer AS-Indonesia harus dikaitkan dengan reformasi bidang keamanan, termasuk membawa para petinggai Kopassus yang terlibat pelanggaran HAM ke pengadilan.

Rajam atas Pelaku Zina


Sebuah ketentuan hukum baru di Indonesia memasukkan hukum rajam bagi pelaku zina dan cambuk hingga 100 kali untuk kasus homoseksual. Hukum pidana lokal ini diloloskan oleh DPRD Provinsi Aceh pada September 2009.

Permintaan: Mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut peraturan hukum ini.

Pembebasan Tahanan Politik

Pemerintah Indonesia terus menggunakan upaya represif untuk mengkriminalkan aktivitis politik damai. Pelanggaran dalam bidang ini cukup parah, di mana ada sejarah terkait gerakan pro-kemerdekaan seperti Maluku dan Papua.
  • Mantan PNS Filep Karma dan masiswa Yusak Pakage menjalani hukuman penjara masing-masing 15 dan 10 tahun, karena mengibarkan bendera Papua secara damai.
  • Pada bulan Juni 2007, 22 orang pria ditahan di Provinsi Maluku karena mengibarkan bendera Benang Raja, sebuah simbol identitas Maluku Selatan, setelah melakukan pertunjukan tarian tradisional di hadapan Presiden Yudhoyono. Semuanya sekarang dihukum penjara antara 7 hingga 20 tahun.

Amnesty Internasional prihatin dengan para "Prisoners of Conscience" di atas dan meminta agar mereka segera dibebaskan tanpa syarat.

Permintaan: Kami mendesak Anda untuk meminta pembebasan mereka sebelum Anda tiba di Indonesia, sebagai tanda itikad baik. Kami yakin bahwa Presiden Yudhoyono akan menanggapi permintaan Anda dengan serius.

Melindungi Pembela HAM

Kami menghargai pertemuan Anda baru-baru ini dengan para pembela HAM di Gedung Putih, dan mendesak Anda untuk menyoroti masalah perlindungan bagi pembela HAM di Indonesia. Kami prihatin sistem hukum Indonesia digunakan untuk mengintimidasi pembela HAM dan bukan untuk menjamin pelaksanakan pekerjaan penting mereka.

Sebagai contoh, pembela HAM Usman Hamid dikriminalkan setelah ia terlibat kampanye keadilan untuk Munir Said Thalib, yang dibunuh dengan cara diracun pada September 2004.  Selain Hamid, sedikitnya 6 orang pembela HAM menghadapi tuduhan kriminal pada tahun 2009 karena aktivitasnya, yaitu Emerson Yuntho, Illian Deta Arta Sari, Gatot, Suryani, Dadang Iskandar, dan Itce Julinar.

Permintaan:
  1.  Kami mendesak Anda menekan Presiden Yudhoyono agar memastikan bahwa para pembela HAM tidak menjadi target melalui tuduhan kriminal atau cara lainnya.
  2.  Kami juga mendesak Anda meminta pemerintah Indonesia untuk mengidentifikasi pejabat tingkat tinggi yang bertanggung jawab atas pembunuhan Munir dan mempublikasikan hasil penemuan tim pencari fakta.

Membuat Mekanisme Pengaduan atas Pelanggaran Polisi

Meskipun sekarang ada proses menjadikan Polri lebih profesional dan menghormati HAM, para tersangka kasus kriminal hidup dalam lingkungan marjinal dan menyedihkan. Khususnya para wanita dan penjahat kambuhan, mereka menjadi target pelanggaran HAM.

Permintaan: Mendesak Presiden Yudhoyono untuk mengambil langkah inisiatif membentuk mekanisme pengaduan independen yang bisa menangani keluhan masyarakat.

Menuntut Mereka Yang Bertanggungjawab atas Orang Hilang

Pada September 2009, Komite Khusus Orang Hilang di DPR 1997-1998, mendesak pemeritah untuk membentuk pengadilan ad-hoc HAM bagi orang-orang yang dianggap bertanggungjawab atas kasus penghilangan paksa.

Permintaan: Mendesak pemerintah untk mengambil langkah inisiatif pembentukan pengadilan ad-hoc HAM.

Memperbolehkan Kebebasan Beragama

Hukum penistaan; bebearapa peraturan hukum terus mendiskriminasikan kebebasan berpikir, menyuarakan hati nurani dan beragama. Pasal 156 (a) Hukum Pidana Indonesia, yang diberlakukan dibawah Dekrit Presiden 1965, menjadikan "penistaan" sebagai sebuah kriminal yang bisa dihukum hingga 5 tahun penjara. Menurut pengamatan Amnesty Internasional, setidaknya sekarang ada 8 orang yang dipenjara berdasarkan peraturan hukum ini.

Komunitas Ahmadiyah terus menghadapi intimidasi dan serangan. Pada bulan Juni 2008, sebuah keputusan bersama para menteri memerintahkan komunitas Ahmadiyah untuk memutuskan apakah mereka bukan termasuk Muslim atau berhenti menyatakan keyakinannya.

Kelompok Kristen juga menghadapi masalah pembatasan dalam beribadah dan penggusuran. Dalam sebuah kasus, sedikitnya 1.400 mahasiswa Kristen dievakuasi dari kampus Perguruan Tinggi Setia pada bulan Juli 2008, ketika mereka diserang warga yang diduga terkait dengan Front Pembela Islam (FPI). Tidak ada yang ditahan dalam serangan tersebut.

Permintaan: Mendesak pemerintah Indonesia untuk memperbolehkan kebebasan beragama.

Bapak Presiden, Amnesty Internasional mendesak Anda untuk menggunakan kesempatan ini guna memastikan bahwa langkah-langkah perbaikan HAM dilakukan di Indonesia. Selama berada di Indonesia, kami mendesak Anda untuk bicara secara terbuka dan bertemu dengan para pembela HAM dan keluarga korban, khususnya mereka yang tewas selama pergolakan politik tahun 1965. Terima Kasih.

Tertanda,
Larry Cox,
Direktur Eksekutif
Konspirasi Intelijen & Gerakan Islam Radikal                                                                   

Sabtu, 24 April 2010

Jihad Aceh 2010 di Mata Musuh Islam

Saya menemukan tulisan Sidney Jones berisi refleksi jihad Aceh 2010 di matanya. Menarik, untuk membandingkan refleksi jihad Aceh dari kacamata musuh dengan refleksi dari kalangan pendukung jihad.
Berikut tulisannya:
Terorisme: Pelajaran dari Aceh
DITEMUKANNYA kamp pelatihan teroris di Aceh dan munculnya Dulmatin di Pamulang, sangat mengejutkan saya dan banyak orang lain. Banyak pula pelajaran yang bisa kita petik.
1. Pemunculan Jaringan “Super-ekstrim”.
Kelompok di sekitar Dulmatin dan “Tanzim al-Qaeda untuk Serambi Mekkah” bukanlah Jemaah Islamiyah, meskipun Dulmatin, seperti Noordin Top, sudah dibai’at menjadi anggota JI. Ini tampak dalam rekaman video yang dibuat kelompok tersebut –yang muncul di YouTube, 8 Maret– yang mengajak umat di Indonesia bergabung melakukan jihad namun dengan keras mengkritik JI sebagai organisasi yang mandul dan tidak melakukan apa pun.
Orang-orang yang bergabung dalam kelompok Aceh adalah orang-orang yang sebagian besar kelihatannya lebih berafiliasi dengan DI daripada JI, walaupun termasuk juga orang JI yg dulu dekat Noordin. Kelompok ini tampaknya meliputi semacam “barisan sakit hati” dari unsur  sejumlah organisasi yang berbeda-beda, termasuk Ring Banten, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Mujahidin KOMPAK, Wahdah Islamiyah, dan segelintir orang dari JI. Mereka sudah resah dengan kepemimpinan yang dianggap hanya duduk-duduk saja tanpa berjihad, dan lebih memihak pada ideologi al-Qaeda yang menghimbau semua orang Islam untuk melawan Amerika dan sekutunya kapan pun, dimanapun dan bagaimanapun bisa. Dengan kata lain, mereka ingin melanjutkan perjuanganNoordin Top.
2. Pertalian internasional yang lebih kuat.
Sebelum kembali ke Indonesia, Dulmatin dan Umar Patek tinggal di Mindanao selama tujuh tahun, awalnya bersama MILF, kemudian dengan Kelompok Abu Sayyaf. Kalau benar bahwa mereka  sudah lama bolak balik antara Filipina dan RI  menggambarkan bahwa komunikasi dan koordinasi antara kelompok ektremis di dua negara tersebut lebih luas daripada perkiraan kita selama ini. Sangat mungkin bahwa Dulmatin dan rekan-rekannya menganggap diri sebagai komponen Mindanao dari “Tandzim al-Qaeda untuk Gugusan Melayu” –nama yang diberikan Noordin bagi jaringannya saat pengeboman Bali II.
Namun, mata rantai ini jauh melampaui Filipina. Moh. Jibriel, sekarang ditahan di Jakarta, menyampaikan kepada rekannya bahwa pada akhir 2007 ia mengunjungi Waziristan, basis Taliban Pakistan. Jibriel, yang dulu menjadi anggota “kelompok al-Ghuraba”, bagian dari JI yang pada 1999-2003 membantu calon mujahidin dari Asia Tenggara, khususnya dari Indonesia dan Malaysia, mendapat pelatihan di Afghanistan dan Kashmir. Hubungan antara Indonesia dan Pakistan mestinya masih ada, dan ada berita yang masih belum dikonfirmasi, bahwa ada beberapa ektremis asal Indonesia yg pulang dari Afghanistan awal tahun ini. Besar kemungkinan jaringan teroris Indonesia mempunyai komunikasi langsung dengan pemimpin senior kelompok teroris di Pakistan, dan mungkin juga di Timur Tengah dan Afrika Utara.
3. Mencari “qoidah aminah”.
Para pemimpin kelompok gabungan ini dilaporkan memilih Aceh karena mereka mencari “qoidah aminah”, atau basis yang aman. Selama konflik Poso, dan khususnya sesudah 2001, JI memandang Poso sebagai qoidah aminah, tempat yang memungkinkan untuk melakukan jihad, mengembangkan komunitas Muslim yang ingin menerapkan hukum Islam secara penuh, dan bekerja untuk daulah islamiyah, atau negara Islam. Tapi, setelah operasi Densus 88 di Poso padaJanuari 2007, banyak anggota kelompok radikal ini ditahan, tertembak mati, atau terpaksa lari, dan tempat ini tidak lagi menjadi basis yang ideal. Kemungkinan Aceh menjadi menarik karena inilah satu-satuya wilayah di Indonesia dimana hukum Islam bisa diterapkan secara penuh. Banyak pula kelompok radikal muncul di Aceh sesudah tsunami, dan membuka cabang disana. DI/NII dan JI sudah lama punya jaringan di Sumatra – apalagi di Medan, Riau, dan Lampung – dan kemungkinan turut membantu.
4. Para pemimpin dan rekrutan masih banyak.
Setelah tewasnya Noordin, banyak orang berpikir bahwa masalah terorisme sudah selesai. Ternyata tidak.  Tidak sedikit orang-orang lain yang memiliki kharisma dan pengalaman tempur di Poso, Ambon, Mindanao dan lebih jauh lagi, yang bisa mengambil alih pimpinan. Ada juga generasi baru yang mungkin sedang diindoktrinasi di sekolah-sekolah JI – suatu jaringan yang terdiri dari sekitar 50 pesantren, sebagian besar di Jawa tapi juga di Sumatra dan NTB. Bukan hanya kebetulan kalau anak-anak Dulmatin terdaftar di salah satu sekolah ini di Sukoharjo, atau bahwa teroris dan ahli pelarian asal Singapura, Mas Selamat Kastari, mengirim putranya ke salah satu lainnya. Sebuah pesantren di Aceh, yang tidak terhubung ke JI, rupannya berperan merekrut anak lokal untuk kelompok ini. Masalahnya bukan hanya di sekolah-sekolah ini; seorang Aceh pengedar narkoba direkrut di penjara Medan, dan Syafiudin Zuhri merekrut pelaku bom bunuh diri di suatu masjid kecil di Bogor. Namun, jaringan sekolah radikal ini merupakan masalah serius, dan kita perlu menemukan cara kreatif untuk mencegah radikalisasi para santri mereka, tanpa menstigmatisasi sistem pendidikan Islam pada umumnya.
5. Memahami dinamika lintas-batas.
Ketika Dulmatin dan Umar Patek beroperasi di Jolo, Mindanao, Pasukan Khusus Amerika Serikat, yang diperlengkapi alat-alat canggih, sedang membantu Angkatan Bersenjata Filipina melawan Abu Sayyaf. Namun, tidak ada yang tahu bahwa dua orang yang paling dicari di wilayah itu sudah meninggalkan Mindanao, tiba di Indonesia dan pergi ke Aceh. Amerika toh juga tidak menemukan Osama bin Laden, jadi negara-negara di Asia Tenggara mempunyai teman senasib. Lagi pula, kemampuan mengelak dari pasukan keamanan menjadi ciri khas pemimpin teroris yang baik.
Tugas lintas-batas menjadi sangat penting. Dalam dekade terakhir, sudah ada kemajuan pesat dalam berbagi informasi secara regional, tapi masih ada kekurangan: Kepolisian Indonesia tidak memiliki keahlian nyata dalam hal jaringan teror di Filipina, Kepolisian Filipina di kelompok Malaysia, atau siapa pun di Asia Tenggara di kelompok Asia Selatan dan sebaliknya. Dengan demikian, sangat penting bagi semua yang terlibat dalam kegiatan kontraterorisme untuk memahami dinamika yang melampaui batas mereka sendiri agar bisa memahami bagaimana berbagai kelompok ini terhubung sekarang –atau mungkin di masa depan.
6. Pergeseran sasaran.
Kita melihat para ekstremis mengubah dan memperluas definisi mereka mengenai siapa musuhnya. Pada puncak konflik Ambon dan Poso, musuh yang dimaksud adalah penduduk Kristen setempat. Di Poso, ditambah dengan yang dicap pengkhianat dan informan polisi, dan pejabat pemerintah yg dianggap “menzholimi” mereka. Seperti, misalnya, kasus seorang jaksa di Palu yang dibunuh karena menghukumi mujahidin Poso. Bom Bali 2002 merupakan indikasi pertama bahwa definisi dari al-Qaeda mengenai musuh — negara-negara Barat dan warganya yang membayar pajak untuk mendukung “mesin perang” terhadap orang Islam — sudah diadopsi. Fokusnya bisa saja ditujukan ke pejabat pemerintah Indonesia yang dianggap ”thoghut” atau serupa dengan kafir karena aliansinya dengan Barat atau menentang syariah. Di bulan Juli, jaringan Noordin merencanakan menyerang Presiden Yudhoyono; bisa saja pejabat terkemuka sekarang menempati urutan atas daftar sasaran, setara dengan gedung-gedung bermerk internasional.
Ini semua memperjelas fakta bahwa tidak benar berpuas diri setelah kematian Noordin, dan tidak benar berpikir bahwa ancaman terorisme sudah berkurang dengan tewasnya Dulmatin. Ekstremis di Indonesia sudah menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi, membentuk kelompok baru, beregenerasi, dan terus melawan.
Indonesia perlu meningkatkan upaya kontraterorisme, dan Polri –yang mengetahui lebih banyak tentang jaringan ini dibanding lainnya– harus memegang peran utama.  Harus ada brainstorming dan sharing dengan orang-orang dari negara lain untuk memahami program apa yang sudah berhasil, apa yang tidak berhasil dan apa sebabnya, serta apa yang bisa disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan di Indonesia.
Mencari upaya untuk mencegah rekrutmen lebih baik tapi juga jauh lebih sulit daripada menerbitkan buku-buku yang mengandung interpretasi lebih moderat tentang jihad, dan lebih efektif pada jangka panjang daripada dialog antaragama. Upaya pencegahan ini termasuk meningkatkan kemampuan pemuda dan orangtuanya memahami “warning signs” (tanda peringatan) radikalisasi, dan mempunyai program yang dapat membantu membendung proses tersebut. Ini termasuk menawarkan pilihan hidup yang berbeda dan opsi karir bagi siswa sekolah-sekolah radikal. Terorisme tidak bisa diberantas dengan segera, tapi banyak upaya yang bisa dikerjakan bersama oleh pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta.
Sidney Jones in Tempo
11 Maret 2010
Sidney Jones, Penasihat Senior untuk Program Asia, International Crisis Group

Selasa, 20 April 2010

Refleksi Jihad Aceh 2010

Kemunculan kelompok jihad yang menamakan diri dengan Tandzim Al Qaeda Serambi Mekah pada awal Maret 2010 tentu mencengangkan banyak pihak. Apalagi setelah itu terjadi perburuan, penembakan, dan penangkapan secara beruntun kepada Tandzim Al Qaeda ini yang sempat melakukan perlawanan. Semua pihak beramai-ramai membuat analisa menurut perspektif masing-masing. Ada yang setuju, tidak sedikit yang mencerca. Berikut sebuah analisa yang dimuat di sebuah blog 'elhakimi' yang akan dimuat secara bersambung. Semoga bermanfaat!
Jihad Aceh yang terjadi pada awal Maret 2010 begitu mengagetkan. Ketika sebelumnya masyarakat disibukkan dengan gonjang-ganjing Century, begitu muncul berita jihad Aceh, langsung Century dilupakan. Mengagetkan karena sebelumnya Aceh dikenal sebagai basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sangat bercitra lokal, berubah menjadi basis Al-Qaeda yang bercitra global.
Lebih mengagetkan lagi, mereka - yang selalu mendapat sebutan teroris itu - melakukan perlawanan dalam bentuk adu senjata secara terbuka di alam bebas. Hasilnya sungguh mengegetkan, beberapa anggota densus 88 yang dicitrakan sebagai pasukan preman seperti Blackwater - lengan bajunya dilinting untuk menonjolkan kesan macho - bisa dibunuh oleh mereka.
Sontak, berita Al-Qaeda Aceh menjadi boming. Belum reda panasnya kontak senjata di Aceh, segera disusul dengan tertembaknya (Ab) Dulmatin alias Amar Usman yang kepalanya dihargai 10 juta dolar oleh Amerika. Media masa hingar bingar memblow-up peristiwa ini.
SBY yang dirundung duka dengan tekanan bertubi-tubi terkait kasus Century, sontak wajahnya sumringah dan berseri-seri. Ia mendapat amunisi bagus untuk menutupi kasus Century. Di sisi lain, ia yang tengah berkunjung ke Australia dan mendapat "kehormatan" untuk menjadi pembicara di parlemen Australia - konon baru 5 kepala negara yang diberi kesempatan untuk itu - memiliki kesempatan istimewa untuk menjilat Australia. Ia dengan mengucap "alhamdulillah" melaporkan kepada tuannya keberhasilan menangkap gembong teroris (baca: tokoh mujahid) yang selama ini diincar seluruh dunia kafir.
Banyak analisa yang beredar di tengah masyarakat. Tapi sayang, umumnya terbelah dalam dua kubu yang sama-sama tidak benar dalam menyikapi masalah ini. Memandang masalah dengan kacamata yang salah.
Kubu Pertama: Penganut Teori Konspirasi
Penganut mazhab ini melihat jihad Aceh sebagai konspirasi SBY dan kepolisian RI untuk mengalihkan perhatian semata dari kasus Century yang puncaknya pada awal Maret 2010 lalu. Atau, konspirasi pematangan situasi untuk memberangus kaum radikal agar tercipta keamanan maksimal saat kunjungan Obama ke Indonesia yang dijadwalkan akhir Maret. (Alhamdulillah, tertunda hingga Juni, katanya).
Teori konspirasi esensinya adalah mekanisme "menyalahkan" musuh dengan menutup mata bahwa gerakan perlawanan di tengah umat Islam sejatinya realitas yang tak bisa ditolak. Teori konspirasi selalu berkonotasi bahwa musuh Islam amat hebat, bisa merancang apa saja dan merealisasikannya laksana alur cerita film, sementara umat Islam hanya sekawanan "kambing congek" yang bodoh dan tertindas. Teori konspirasi dilandasi pandangan bahwa sutradara segala kejadian di alam semesta adalah Yahudi, Israel, AS, Eropa, CIA, BIN, Kepolisian, dan seterusnya. Teori ini menihilkan taqdir Allah, kemampuan mujahidin dan umat Islam. Apapun kejadian yang merugikan umat Islam, selalu jawabannya sama: ada konspirasi Yahudi di baliknya. Seolah Yahudi "Penguasa Alam Semesta" yang seluruh rencananya dapat terjadi laksana skenario film di tangan sutradara.
Misalnya, ketika membedah serangan WTC yang meruntuhkan simbol ekonomi AS, para penganut teori konspirasi terbelenggu keyakinan bahwa itu semua bikinan AS. Usamah bin Ladin hanya pion yang dimanfaatkan oleh AS untuk mengacak-acak umat Islam. Buktinya? Dahulu saat Afghanistan melawan Uni Sovyet, mujahidin mendapat sokongan dari AS. Di dalamnya termasuk Usamah bin Ladin.
Mata rantai logika yang disusun, lalu kesimpulan yang dihasilkan sangat menggelikan. Mereka tidak sadar, teori ini bisa menyeret kesimpulan lain; bahwa nabi Musa as sebenarnya antek Fir'aun. Dalilnya? Karena pernah diasuh Fir'aun di istananya.
Para penganut mazhab konspirasi tidak percaya bahwa mujahidin bisa melakukan serangan spektakuler 11 September itu. Mereka terpenjara oleh pengalaman umat Islam yang terjajah sekian lama, tak mungkin ada di tengah umat Islam yang mampu melakukan perlawanan kepada kaum kafir.
Para penganut mazhab konspirasi berdalih, teknologi AS demikian canggih sehingga mustahil ada pesawat sipil yang lolos dari intaian radar AS, di negerinya sendiri. Mereka melupakan Ke-Maha Kuasa-an Allah, yang bisa menjadikan api yang pasti membakar, tidak memberi efek membakar bagi Ibrahim as. Mereka lupa, bahwa taqdir hancurnya WTC justru dengan membuat kaum Yahudi mengendus rencana penyerangan, dan mereka sengaja membiarkannya demi mengobarkan perang melawan umat Islam yang memang mereka inginkan. Inilah jalan taqdir yang Allah kehendaki untuk hancurnya WTC.
Para penganut mazhab konspirasi salah menyimpulkan. Mereka menyangka, sikap Yahudi yang membiarkan penyerangan berjalan mulus merupakan bukti konspirasi antara AS dengan Usamah bin Ladin. Subhanallah... Gara-gara teori menyesatkan ini, mereka menuduh mujahid yang prestasi jihadnya diakui dunia sebagai antek AS. Menuduh tokoh jihad sebagai pengkhianat hanya disebabkan teori konspirasi.
Penganut mazhab ini sangat banyak jumlahnya. PKS, HTI dan hampir seluruh elemen umat Islam yang beraliran perlawanan tapi modernis menggunakan mazhab ini. Lihat misalnya situs Eramuslim dan Hizabuttahrir. Analisanya selalu dilandasi teori konspirasi. Menyedihkan !
Kedua: Penganut Neo-Murji'ah
Penganut mazhab ini yakin seratus persen terhadap informasi yang datang dari pihak pemerintah, dalam hal ini kepolisian. Bahwa pelaku adalah kalangan umat Islam yang dengan sengaja melawan pemerintah yang "sah". Penganut Neo-Murji'ah mengambil sikap memusuhi para pelaku, dan percaya bahwa kejadiannya memang benar, bukan rekayasa atau hasil konspirasi tertentu, misalnya dari pihak pemerintah.
Penganut mazhab ini umumnya dari kalangan Salafi Murji'ah. Mereka menolak teori konspirasi, tapi di sisi lain, menghujat mujahidin dengan kalimat yang tajam. Biasanya menyebutnya sebagai Khawarij. Silakan lihat fenomena ini misalnya si situs-situs SM (Salafi Murji'ah) dan Radio Rodja Cileungsi. Salah satu tokoh penting mazhab ini Zainal Abidin (pendiri radio Rodja).
Kesalahan mazhab ini terletak pada kebenciannya yang membabi buta terhadap mujahidin. Mereka sama sekali tak mau mengakui status para "teroris" sebagai mujahidin. Bagi mereka para mujahidin lebih dibenci dibanding kebencian mereka terhadap George Bush, Ariel Sharon, Geert Wilders, dan tokoh-tokoh perusak Islam lain.
Penulis heran, jangan-jangan mereka belum pernah mempelajari konsep Wala' wal Bara' dengan benar. Atau kalaupun mempelajarinya, pasti dengan persepsi yang salah. Mereka sangat mencintai Sunnah, tapi sayang tidak mampu memilah mana musuh dan mana kawan. Mereka mengidentikkan istilah Teroris dengan Khawarij. Hasilnya, menurut mereka, Teroris akan menjadi anjing-anjing neraka Jahannam!
Mazhab Wasath (Aliran Pertengahan)
Bertolak belakang dengan hujatan kaum SM, penganut mazhab wasath dengan penuh rasa cinta menyebut mereka yang diberi gelar Teroris sebagai Mujahidin. Tentu saja Teroris yang muslim, dan ada kaitannya dengan membela Islam dan umat Islam. Bukan Teroris seperti Tentara Basque di Spanyol yang beragama Kristen.
Demikian pula, tak mau memandang jihad Aceh dengan teori konspirasi. Semuanya benar adanya, dilakukan oleh kalangan umat Islam yang sangat merindukan jihad dan mati syahid. Mereka termotivasi pahala yang demikian menggiurkan untuk aktifitas jihad dan karunia mati syahid. Adapun kejadiannya yang menyusul ramainya skandal Century, sama sekali tak bisa dipahami bahwa jihad Aceh hasil rekayasa kepolisian. Ini semata taqdir Allah, yang boleh jadi sebagai bentuk istidraj untuk SBY agar ia merasa disayangi Allah karena menyelamatkannya dari skandal Century. Padahal gaya menjilatnya kepada Australia dengan memberi laporan kepada "tuannya" tersebut, menunjukkan bahwa SBY bukan sosok yang pantas mendapat pertolongan dari Allah dalam konteks kasih sayang. Tetapi "pertolongan" dalam konteks istidraj.
Pada sisi lain, mazhab wasath juga tidak membela jihad Aceh dengan membabi-buta sebagai kebenaran mutlak tanpa cela. Mazhab ini tetap memberikan analisa kritis atas amaliah jihad Aceh dengan catatan-catatan evaluasi, agar menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Sama sekali bukan karena faktor benci atau dengki. Tapi semangat saling menasehati dengan cinta. Rabbana la taj'al fi qulubina ghillan lilladzina amanu !
Refleksi ini ditulis dengan paradigma mazhab wasath. Maka, akan terasa menyakitkan bagi yang mendukung jihad Aceh dengan membabi-buta seolah tanpa cacat. Mohon maaf.
Menghidupkan Jihad Aceh
Jihad Aceh mencoba memelihara bumi Aceh yang penuh berkah agar tetap beraroma jihad, melanjutkan apa yang dilakukan sekian lama oleh Allah Yarham Daud Beureuh (Baca: Ber'eh) dengan gerakan DI/TII-nya. Pada zaman yang lebih tua, perang Sabil yang dilakukan rakyat Aceh melawan kafir Belanda.
Bumi jihad Aceh sempat dikangkangi oleh perlawanan dengan aroma kesukuan; sentimen Aceh melawan Jawa dengan nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dengan matinya ruh perlawanan GAM - karena memang ruh kesukuan sejatinya lemah - maka terbuka peluang untuk membersihkan aqidah rakyat Aceh dari sentimen kesukuan tersebut. Dikembalikan kepada aqidah Islamiyah, yang karenanya jihadnya harus dengan paradigma fi sabilillah, bukan fi sabili GAM.
Namun sayang, tampaknya misi ini belum berhasil direalisasikan oleh pelaku, karena rakyat sudah sangat pro pemerintah setelah trauma dengan dampak sepak terjang GAM pada masa lalu. Mereka sudah terlanjur trauma terhadap apapun yang berbau senjata. Mereka sudah lelah dengan kekerasan.
Trauma ini hanya bisa diobati dengan dakwah, yang meluruskan rakyat Aceh dari aqidah Nasionalisme atau Kesukuan dan kembali kepada aqidah Islamiyah. Didakwahi untuk cinta jihad, mati syahid dan benci kepada sistem non Islam.
Pilihan Aceh untuk dijadikan front jihad, dan wilayah manapun di Indonesia, sesungguhnya perlu dikaji lebih dalam. Jihad membutuhkan "pemicu" sehingga bisa menarik umat Islam dalam jumlah masal untuk bergabung. Jika pemantiknya tidak cukup kuat, masyarakat tak tergerak untuk mendukung jihad. Faktanya, pelaku sama sekali tak memikirkan faktor pemantik ini. Mereka hanya menjadikan fardhu-nya jihad dan kemuliaan mati syahid sebagai pemantik. Padahal umat Islam sudah demikian terbelenggu oleh materialisme dan kenikmatan hidup (yang damai).
Pertanyaan masyarakat belum akan terjawab, jika sekiranya mereka sudah terpanggil mendukung jihad Aceh: memangnya jihad melawan siapa jika lokasinya di Aceh? Pertanyaan ini ternyata lebih fasih dijawab oleh polisi; tuh kan mereka ini orang-orang jahat, tidak ada musuh yang jelas kok ngajak perang. Mereka hanya mau membuat onar. Jika masyarakat Aceh ikut, hanya akan menambah kesengsaraan saja. DAKWAH POLISI ini terbukti lebih manjur dan lebih simpel, sehingga mudah dipahami masyarakat.
Keberhasilan Abu Mus'ab Az-Zarqawi menghidupkan jihad di Iraq karena ada pemicu yang sangat kuat, yakni hadirnya penjajah asing yang kafir dan sangat kejam. Tiga kata (yang dibold) tersebut menjadi pemicu yang sangat kuat, sehingga berhasil menarik pasukan Saddam dalam barisan jihad.
Pemantik yang digunakan oleh pelaku hanya kosa kata jihad, fardhu 'ain, Al-Qaeda dan mati syahid. Padahal kata ini masih sangat absurd di kalangan masyarakat yang mendiami sekitar lokasi "proklamasi jihad" Aceh tersebut. Bagaimana mungkin jihad di gunung bisa eksis, jika masyarakat di kaki gunung tidak mendukung, memberi bantuan logistik dan lain-lain. Dalam hitungan hari pasti akan digulung dengan mudah.
Para mujahid Aceh tampaknya bermazhab bahwa jihad adalah tujuan, bukan cara. Bahkan lebih ekstrim lagi, menjadikan mati syahid sebagai tujuan. Akibatnya, tak perlu mempertimbangkan analisa menang atau kalah, mampu atau tidak mampu. Pokoknya jihad. Sama dengan shalat, pokoknya harus dikerjakan di manapun dan dalam kondisi apapun, meski dalam keadaan sakit sekalipun. Padahal jika mujahid hanya merencanakan mati (syahid), ia sedang merancang kekalahan.

Bersambung ...

Refleksi Jihad Aceh 2010 (Bagian II)

Berikut lanjutan analisa yang dimuat di blog 'elhakimi' yang merupakan lanjutan tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat dan dapat menghilangkan keraguan ummat akan urgensi jihad, Insya Allah!
Sibuk Menyalahkan Musuh
Ketika umat Islam mendapat serangan dari musuh, masih banyak yang sibuk menyalahkan musuh. Amerika dijadikan sasaran caci maki. Amerika negara jahat, pemerintah SBY arogan dan sebagainya. Ini semua benar, tak ada yang salah dengan ungkapan ini.
Permasalahannya adalah, sikap ini membiasakan kita menutupi kelemahan dan kegagalan kita dengan mengkambing-hitamkan pihak lain. Menyalahkan musuh yang lebih pintar. Padahal kesalahan sejatinya terpulang pada kelemahan umat Islam sendiri.
Sebagai ilustrasi, kesebelasan Indonesia bertanding melawan kesebelasan Brazil. Jika kalah dalam pertandingan, Indonesia tak bisa menyalahkan Brazil. Karena memang satu-satunya tugas pemain Brazil saat bertanding adalah mengalahkan Indonesia, sebagaimana Indonesia obsesi tertingginya juga mengalahkan Brazil. Ketika kalah, setiap kesebelasan pasti sibuk membenahi skuadnya, bukan sibuk menyalahkan kecerdikan musuh atau menyalahkan wasit. Tindakan selalu menyalahkan musuh adalah kebodohan yang akan ditertawakan dunia. Sebuah kecengengan yang kanak-kanak.
Tapi sayang, banyak umat Islam yang selalu sibuk menyalahkan Densus 88, kepolisian dan pemerintah - siapapun presidennya. Para aparat itu digaji untuk membela ideologi Nasionalisme, Demokrasi dan hukum non syariat. Bagaimana mungkin kita berimajinasi bahwa mereka akan memberikan kasih sayang kepada para mujahidin yang 'digaji' oleh Allah untuk membela Tauhid, umat Islam dan hukum syariat. Kedua belah pihak memiliki ideologi yang bertolak belakang. Menang atau kalah terpulang sepenuhnya kepada mekanisme pertarungan, tanpa perlu merengek agar musuh melunakkan perlawanan. Kita hanya boleh menyibukkan diri meratapi kelemahan internal, mengevaluasi kesalahan, dan mengoreksi apapun yang keliru.
Mengapa umat Islam dengan mudah dijajah AS? Mengapa mujahidin yang semestinya kuat, bisa digulung dengan gampang oleh densus 88?
Paradigmanya harus dibalik. Bukan menyalahkan Densus 88, pemerintah SBY, Israel atau AS. Tapi menyalahkan diri sendiri; ada kesalahan apa sehingga mujahidin begitu mudah dihabisi? Ada kekeliruan strategi apa sehingga kalah? Ada kemunkaran apa? dan seterusnya.
Adapun menyalahkan Densus 88 sebagai sebuah strategi melemahkan Densus 88 di hadapan umat, ini bisa dibenarkan. Karena dengan melemahkan citra Densus 88 di mata umat Islam, dukungan terhadap Densus akan berkurang. Dengan begitu umat bisa diajak mendukung mujahidin, bukan mendukung densus 88.
Maka, dari sini mestinya umat Islam sibuk mengevaluasi apa yang dilakukan mujahidin Aceh. Disisir satu persatu. Sehingga kelak menjadi sekumpulan pelajaran yang berguna untuk bercermin. Jika ingin melakukan hal yang serupa, apa yang perlu diperbaiki.
Maka berhentilah menyalahkan musuh, tapi salahkan diri sendiri (diri umat Islam yang kita menjadi salah satunya).
Tolok Ukur Muhasabah: Keberlangsungan Jihad dan Kemenangan Islam
Kita sebelum melakukan muhasabah, mesti menyepakati tolok ukur yang akan digunakan. Sebab, kekeliruan memilih tolok ukur, menjadikan kekalahan dipandang sebagai kemenangan.
Misalnya, jika kita menggunakan mati syahid sebagai tolok ukur, maka jihad Aceh 2010 sudah cukup berhasil. Berhasil apa? Mempersembahkan syuhada! Karena faktanya, lumayan banyak yang gugur sebagai syuhada (kama nahsabuhu wala nuzakki 'alallah ahadan).
Jika tolok ukurnya adalah kemampuan membunuh musuh, jihad Aceh juga bisa dianggap cukup berhasil karena untuk pertama kali bisa membalik fakta: biasanya Densus 88 dan anteknya selalu dalam posisi membunuh, tapi bisa dibuat dalam posisi terbunuh. Dan jumlahnya juga fantastis ! Kompas menyebutnya 5 orang.
Jika tolok ukurnya penangkapan oleh Densus 88, jihad Aceh juga relatif "berhasil". Karena mempersembahkan kader-kader jihad dalam jumlah yang cukup banyak sebagai penghuni hotel Prodeo. Dan kisah penangkapannya juga relatif mudah.
Jika kemampuan meniru Al-Qaeda dalam style propagandanya, jihad Aceh juga cukup berhasil. Mereka bisa merekam propagandanya dengan latar yang indah; hutan rimba dan bukit-bukit yang lebat. Seruannya juga jelas; mengajak umat Islam untuk bergabung dengan mereka di hutan. Hanya sedikit ada perbedaan dengan Al-Qaeda, mereka melakukannya dengan cara melecehkan kegiatan dakwah dan sosial keumatan yang dilakukan anasir umat sendiri. Mereka menihilkan apapun kecuali jihad. POKOKNYA JIHAD !
Tampaknya Al-Qaeda menjadi inspirasi terpenting. Hal ini tak bisa dihindarkan, karena siapapun bicara jihad, tidak akan bisa mengabaikan fenomena Al-Qaeda yang kian mengglobal dengan makin meluasnya internet. Al-Qaeda menjadi model impian bagi semua aktifis yang terobsesi jihad. Mudah didapatkan di internet, pesan-pesannya sangat kuat dengan gaya "hitam-putih" dan membakar adrenalin kaum muda. Mereka tak perlu panjat tebing, cukup dengan duduk di depan internet, mereka sudah terbakar adrenalinnya.
Ini semua menurut penulis, bukanlah tolok ukur keberhasilan jihad Aceh. Meski secara umum kita harus mengapresiasi jihad yang mereka proklamasikan. Tak ada do'a kita untuk mereka kecuali semoga amal ibadah mereka diterima oleh Allah. Dan tak ada pilihan sikap bagi kita kecuali menjadi kader yang suatu saat nanti akan melanjutkan jihad mereka, tentu saja dengan tidak mengulangi "kesalahan" mereka setelah kita evaluasi. Tapi melanjutkan bukan bermakna harus di Aceh atau di wilayah Indonesia yang lain. Melanjutkan yang kami maksud adalah melanjutkan jihadnya, bukan melanjutkan keharusan Acehnya apalagi "kesalahan"nya. Artinya, kita harus menjadi mata rantai dan jejaring jihad umat Islam global, setelah mereka terlebih dahulu memastikan diri sebagai salah satu cincin dari rantai jihad global.
Maka tolok ukur keberhasilan harus kita sepakati sisi keberlangsungan jihadnya, dukungan umat Islam atasnya dan kemampuan melemahkan musuh hingga mengalahkannya. Jika jihad Aceh 2010 hanya dalam hitungan pekan berhasil digulung musuh, maknanya kita harus melakukan evaluasi, ada kesalahan apa. Jika umat Islam tidak mendukung dan terpanggil bergabung dalam kafilah jihad, berarti ada yang perlu kita perbaiki (next time better). Bila jihad Aceh 2010 tidak mampu melemahkan musuh apalagi mengalahkannya, maknanya ada yang perlu disiapkan lebih serius untuk mengalahkannya.
Memang benar, bahwa kita tidak dibebani oleh Allah dengan keharusan mengalahkan musuh, tapi tak bisa dipungkiri bahwa syariat jihad merupakan alat terbaik yang Allah sediakan bagi kita untuk mengalahkan musuh. Bila senjata terbaiknya saja tak mampu kita gunakan, lalu dengan cara apa lagi kita akan bisa mengalahkan musuh?
Teori dasarnya; JIHAD PASTI MENGHASILKAN KEMENANGAN jika DILAKUKAN DENGAN BENAR. Bila hasilnya kekalahan, maknanya kita harus dengan dada lapang berani mengevaluasinya. Bisa jadi eksperimen ini akan terjadi berulang, dan terus dilakukan evaluasi, untuk mencapai tujuan terbesar: menghasilkan kemenangan. Abu Mus'ab As-Sury mencontohkan, dengan menulis refleksi jihad Syria, lalu refleksi yang lebih luas dalam bukunya dakwah muqawamah. (Diterbitkan sebagian serinya oleh penerbit Jazera Solo dengan judul: Perjalanan Gerakan Jihad). Buku ini berisi refleksi jihad global, evaluasi kekurangan-kekurangannya dan bagaimana strategi ke depannya demi memastikan jihad menghasilkan kemenangan.
Jihad; tujuan atau sarana
Salah satu perdebatan sengit yang berkembang di tengah aktifis jihad, apakah jihad dipandang sebagai sarana untuk mencapai kemenangan ataukah tujuan dan terminal akhir dari serangkaian penghambaan kepada Allah? Meski perdebatan ini tak mencuat ke permukaan dalam bentuk silat lidah, tapi terrefleksikan dalam pilihan tindakan.
Mazhab sarana akan meletakkan jihad sejajar dengan semua ibadah yang lain. Setiap ibadah dibingkai oleh maqashid syariah yang sesuai dengan karakternya. Shalat dibingkai maksud hubungan kepatuhan vertikan secara ritual. Shaum dibingkai tujuan pengendalian hawa nafsu dan kejujuran pribadi kepada Allah. Zakat dibingkai tujuan kesetiakawanan sosial dalam hal harta, dan menghilangkan mental kikir. Nahi munkar dibingkai tujuan menghilangkan kemungkaran di tengah umat Islam. Sementara jihad dibingkai tujuan pengorbanan pribadi dalam membela Allah dan mengalahkan musuh Allah.
Jihad itu ibadah. Tapi dalam pelaksanaannya, tak semata dilandasi tujuan melaksanakan ibadah. Terdapat sejumlah syarat untuk melaksanakannya, ada aturan yang menyertainya. Tidak asal melaksanakan perintah Allah bernama jihad.
Hal ini serupa dengan ibadah nahi munkar. Tak asal nahi munkar. Jika nahi munkar diprediksi justru melahirkan kemunkaran lebih besar, nahi munkar tak boleh dilakukan. Bukan semata nahi munkar.
Para penganut mazhab sarana akan cenderung mempersiapkan jihad dengan melakukan dakwah, pembinaan keumatan, layanan sosial, pendidikan dan sebagainya. Mereka tak menihilkan peran dakwah sebagai alat lain dalam menegakkan Islam. Posisinya sejajar, karena hajat umat kepada dakwah tidak kalah besar dibanding hajat umat terhadap jihad. Keduanya dilakukan secara simultan, tidak ada yang dianak-tirikan. Paradigma ini yang semestinya digunakan dalam melihat ibadah bernama jihad.
Sementara penganut mazhab tujuan, tindakannya hanya terfokus pada pelaksanaan jihadnya sebagai sebuah fardhu 'ain. Mereka mengabaikan pernik persoalan yang bersifat menunjang keberlangsungan jihad. Mereka ingin semua orang Islam datang berduyun-duyun menyambut seruannya, pergi ke hutan dan gunung-gunung di Aceh dan bergabung dengan mereka. Mereka meninggalkan dakwahnya, pesantrennya, lembaga sosialnya, dan segala hal yang tidak ada potret "memegang senjata"nya.
Padahal jihad membutuhkan dukungan dakwah, dana, jurnalistik, pakar komunikasi, pakar teknologi, dan kepakaran lain. Memerlukan kesinambungan SDM yang akan memikul beban jihad ini. Bagaimana mungkin jihad akan berlanjut, jika mesin penyuplai mujahid harus ditinggalkan, seperti pesantren, madrasah, majlis taklim dan sejenisnya?
Kesan kuat yang muncul dari jihad Aceh adalah menjadikan jihad sebagai tujuan, bukan sarana untuk memperoleh kemenangan Islam. Ketika jihad menjadi tujuan, maka seorang mujahid akan mengabaikan pernik pendukung yang akan mempengaruhi kesuksesan jihad. Misalnya dakwah, dukungan masyarakat sekitar, dukungan media massa dan sebagainya.
Titik perhatiannya hanya bagaimana berjihad dan mengajak umat Islam untuk berjihad, meski ajakan itu menjadi sangat absurd (kabur) di mata umat Islam yang tidak mengerti apa-apa tentang wacana jihad. Mereka mendengar ajakan itu seperti angin lalu, karena tidak mengerti maksud ajakan itu.
Misalnya, jika ada yang menyambut seruan ini, mereka masih akan kesulitan menemui panitianya. Mereka bingung alamat sekretariatnya. Mereka belum tahu, apakah untuk gabung masih diperkukan adanya ujian masuk atau tidak? Mereka tidak tahu lokasi bukitnya. Mereka juga tak tahu, musuhnya siapa. Ini yang kami maksud absurd.
Jihad melawan Densus 88 di mata umat Islam merupakan sesuatu yang sulit dipahami. Mereka akan bilang, Islam lawan Islam. Wajar, karena mayoritas anggota Densus 88 pastilah beragama Islam, mengikut jumlah umat Islam yang mayoritas di negeri ini.
Problem ini membutuhkan dakwah. Lalu bagaimana jihad akan mendapat dukungan luas, jika dakwah dinihilkan? Dakwah dilecehkan sedemikian rupa dalam rilis mujahidin Aceh. Seolah mereka hidup di planet lain, dan hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Dalam kedokteran, ini disebut penyakit autisme.
Bersambung...

Refleksi Jihad Aceh 2010 (Bagian III-Selesai)

Ini tulisan bagian III dari Refleksi Jihad Aceh 2010 yang dimuat di blog 'elhakimi' dan mendapatkan tanggapan dan respon yang sangat luar biasa. Semoga tulisan ini dapat mencerahkan ummat Islam akan kewajibannya menegakkan Islam dengan dakwah dan jihad sesuai dengan tuntunan Al Qur'an, As Sunnah, dan teladan salafus sholeh. Insya Allah! Merumuskan Peta Kontribusi Umat Islam
Mujahidin perlu merumuskan peta kontribusi umat yang dibutuhkan untuk menegakkan Islam, dalam rangka memastikan semua unsur umat bisa mengambil peran sesuai minat dan kemampuan. Karena dalam realita seperti Indonesia saat ini (2010), rasanya tak mungkin berimajinasi bahwa seluruh umat Islam mendukung jihad, apalagi ikut hadir di medan jihad.
Kecuali jika realitanya seperti Iraq atau Afghan, ketika musuh yang kafir dengan beringas menyerang umat Islam, maka diperlukan sebanyak mungkin kader umat yang harus datang ke medan jihad. Dalam situasi semacam ini, kontribusi yang paling dibutuhkan dan efektif bagi umat adalah memanggul senjata untuk mengusir penjajah yang kafir sesegera mungkin.
Peta kontribusi yang dimaksud, misalnya untuk menjawab pertanyaan seorang wartawan muslim, apa kontribusi yang bisa ia berikan untuk jihad dan menegakkan Islam jika tak terjun langsung ke medan laga? Juga pertanyaan serupa dari kalangan pedagang, guru, dokter, petani, sopir, pelaut, ahli IT, insinyur, dan segala macam pernik profesi dan keahlian manusia.
Apakah mengobarkan jihad di Indonesia bermakna menyeru mereka semua untuk meninggalkan profesi masing-masing, dan berbondong-bondong menuju medan jihad? Sekali lagi, untuk kasus negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk muslimnya saja lebih dari 200 juta, dan tak ada "pemantik" untuk menyalakan pertempuran, apakah itu pilihan yang bijak untuk tegaknya Islam di sini?
Ataukah ada toleransi dengan membiarkan mereka menekuni profesinya, tapi bisa berkontribusi untuk tegaknya Islam? Jika jawabannya ya, maka yang mereka butuhkan adalah sebuah peta kontribusi. Mereka masih bisa bekerja di bidangnya masing-masing, sambil "menabung" kontribusi dalam sebuah mata rantai yang berujung pada jihad fi sabilillah. Setahu saya, belum pernah dibuat blueprint (cetak biru) peta kontribusi yang mencakup seluruh aliran dan keahlian umat Islam, minimal di Indonesia.
Umat Islam Indonesia memiliki beberapa situs yang gencar menyuarakan tema dan berita jihad, semisal Arrahmah.com, Muslimdaily.net, Eramuslim.com dan lain-lain. Mujahidin tak perlu memprofokasi para admin situs-situs tersebut untuk meninggalkan posnya demi pergi ke bukit-bukit pertempuran. Sebab keberadaan pos-pos tersebut amat vital dalam mengedukasi umat tentang jihad dan mengadvokasi para mujahidin dari kasus-kasus yang menjerat mereka.
Demikian pula jika ada dokter, baik yang umum maupun spesialis. Keahlian mereka perlu dipelihara di tempat kerja mereka masing-masing, untuk suatu saat digunakan. Kader-kader umat yang menggeluti dunia teknik dan rekayasa, biarkan mereka berkembang di tempat kerja mereka masing-masing, karena jihad amat membutuhkan keahlian mereka pada saatnya nanti.
Bahkan lembaga-lembaga dakwah yang hidup di tengah umat dengan segenap ragam dan fokus perhatiannya juga perlu dipelihara. Misalnya ada lembaga yang fokus memberantas kemunkaran (FPI), menekuni pendidikan untuk anak-anak muslim (pesantren dan sekolahan), spesialis menghantam aliran sesat (LPPI), spesialis melawan Liberalisme dan Pluralisme (INSIST: Adian Husaini dkk), spesialis melawan Syiah, spesialis melawan Kristenisasi (FAKTA dll) dan semua elemen umat yang berperan menjaga rumah besar umat dari rongrongan tikus-tikus kemunkaran dan kesesatan.
Paradigma ini dilandasi pandangan bahwa jihad bukan obat segala penyakit. Jihad bukan seperti iklan sebuah produk minuman: apapun makanannya, minumannya teh botol sosro. Untuk melawan Syiah di Indonesia, tak bisa dengan mengancam mereka dengan senjata dari bukit-bukit jihad. Karena mereka menyusup dengan cerdik seperti bunglon di semua lini kehidupan di kota-kota dan desa-desa. Mereka punya aqidah bernama Taqiyah, yaitu keharusan berpenampilan layaknya musuh untuk mengalahkan musuh. Paling baik dan efektif membongkar kedok mereka adalah dengan al-kitab, bukan dengan as-saif.
Membongkar kebusukan mereka adalah melalui ilmu dan dakwah, bukan menantang mereka adu senjata karena wujud mereka pun sulit dikenali. Bukankah Islam ditegakkan dengan dua sarana; al-kitab al-hadiy dan as-saif an-nashir (Kitab yang berfungsi memberi petunjuk, dan pedang yang berfungsi menolong). Kitab melambangkan ilmu dan dakwah, sementara saif melambangkan jihad fi sabilillah. Tanpa perpaduan keduanya, perjalanan Islam akan pincang. Jika hanya menonjolkan kitab, akan dilecehkan musuh. Jika hanya menonjolkan saif, Islam akan tampak garang laksana preman, sehingga orang takut mendekat.
Wilayah Indonesia dengan jumlah muslimnya mayoritas ini yang terbaik adalah dijadikan obyek dakwah, belum lagi obyek jihad. Bukan sembarang dakwah, tapi dakwah yang mendukung perjalanan jihad. Umat dibimbing untuk bisa memahami, mengamalkan dan membela Islam dengan benar. Jika variasi keahlian dan profesi mereka dikelola dengan baik, kekuatan umat bisa digunakan untuk menagakkan Islam pada saatnya nanti bila momentumnya sudah tiba. Sayangnya, manusia kerap tak mampu menundukkan sifat aslinya; isti'jal (tergesa-gesa). Ingin menegakkan Islam laksana sulap. Atau minimal ingin mencapai hasil laksana preman; todongkan senjata, semua urusan akan selesai.
Teliti dalam Merekrut Kader Jihad
Jihad yang bermakna pertempuran di medan perang, harus memilih kader-kader terbaik yang memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Sebab sudah berulang kali jihad bersenjata dikumandangkan di Indonesia, tapi selalu berujung pada penangkapan yang menyedihkan. Kita harus sangat teliti dan selektif dalam memilih kader yang siap berjihad dengan senjata, karena karakter jihad berbeda dengan karakter dakwah.
Tidak semua orang yang lisannya dengan manis mendukung jihad merupakan orang yang tepat untuk diajak berjihad ke medan tempur. Intelijen berkeliaran, yang banyak di antaranya berpenampilan sangat "salafi" dan sangat "jihadi". Amat sulit membedakan mana orang yang sungguh-sungguh lagi aman untuk diajak jihad dari kalangan yang justru akan merusak jihad.
Intelijen bekerja dengan sangat serius untuk menjegal barisan mujahidin. Tak bisa kita hanya mengandalkan kader jihad dengan melihat pada penampilan lahirnya, tapi kita harus benar-benar merasa aman dan sangat kenal dengan orang yang menjadi partner jihad kita. Hati-hati dengan kader jihad "karbitan", yaitu mereka yang hanya semangat jika berbincang soal jihad, tapi ogah-ogahan ketika diajak bicara soal bagaimana cara wudhu yang benar sesuai sunnah Nabi saw, soal kesucian (thaharah), dan soal najis. Mereka enggan dan tidak antusias bicara soal jilbab untuk istri dan anaknya, soal pilihan sekolah untuk anaknya, soal interior rumah yang islami, soal menangis karena takut kepada Allah, soal zuhud, soal wara' , soal usaha yang halal, soal riba, soal ittiba' kepada Rasulullah saw dan seterusnya.
Indonesia bukan tempat yang sedang berkecamuk konflik seperti Afghan,  Iraq, atau Somalia. Di wilayah konflik, tak diperlukan ketelitian yang terlalu ketat dalam merekrut kader jihad. Siapa pun yang punya cukup keberanian untuk datang ke medan tempur dan ingin berjihad bersama mujahidin, harus diterima dengan tangan terbuka.
Tapi untuk kasus seperti Indonesia, yang bukan negara konflik, kita tak bisa serta merta merasa aman bekerja dengan kader jihad "karbitan". Tidak semua yang menampakkan ketertarikan dengan tema jihad layak untuk diajak ke medan jihad.
Inilah karakter jihad. Berbeda dengan karakter dakwah, yang sangat open. Siapa pun bisa diajak bergabung dalam barisan dakwah. Siapa pun yang bertanya tentang Islam, kita wajib menjelaskan, tanpa boleh menolak. Bahkan jika yang meminta itu dari kalangan intelijen yang ingin menjebak seorang da'i. Siapa pun yang tertarik dengan dakwah dan menyebarkan Islam asalkan terlihat itikad baiknya, kita mesti mengapresiasinya.
Sementara dalam jihad, barisan mujahidin boleh (bahkan harus) menolak kaum munafiq untuk masuk dalam barisan jihad, jika ternyata ia akan justru merusak agenda jihad. Lihat Surat At-Taubah ayat 83. Tapi ketika Rasulullah saw berada di Madinah, beliau tetap tampak dekat dan akrab dengan kaum munafiq, karena kehidupan di Madinah bercorak dakwah. Alkisah menyebutkan, gembong munafiq zaman Nabi saw yang bernama Abdullah bin Ubay biasa shalat di belakang Nabi saw.
War, Bukan Battle (Perang, Bukan Tempur)
Jihad mestinya dimaknai sebagai peperangan semesta, bukan bentrokan sesaat. Kesalahan dalam mempersepsikan jihad akan melahirkan kekeliruan dalam merealisasikan jihad.
Dalam bahasa Inggris, ada istilah war dan ada istilah battle. War adalah peperangan panjang antara dua pihak. Sementara, battle adalah bentrokan sesaat antara dua kelompok yang bersenjata. Atau dengan kata lain, war (perang) merupakan serangkaian battle (tempur) yang dilakoni dua pihak yang saling berseteru.
Pertarungan antara umat Islam melawan kaum kafir dengan segenap anteknya merupakan pertempuran dan pertarungan panjang yang bersifat lintas generasi. Oleh karenanya lebih tepat disebut perang (war). Permusuhan yang melibatkan seluruh sisi kehidupan, segala jenis keahlian, dan semua ragam kehidupan manusia. Bahkan tanpa ada batas waktu.
Kedua belah pihak menggunakan segala daya kemampuan dan cara untuk mengalahkan lawannya. Ada adu kesabaran dalam mengintai. Ada adu cerdik dalam menjebak. Ada adu pintar dalam mengelabuhi. Ada adu kekuatan dalam benturan senjata. Ada adu kecanggihan teknologi. Ada adu kekuatan ekonomi. Ada adu ketangguhan mental. Ada adu soliditas barisan. Ada adu ketajaman membidik. Semua puncak ilmu dan kehebatan masing-masing diramu dan diracik sebaik mungkin untuk menghasilkan kemenangan.
Jihad fi sabilillah-oleh karenanya-lebih tepat diletakkan dalam makna war atau perang, bukan tempur atau battle. Jihad bukan semata bagaimana dapat memukul dan mengalahkan musuh dalam waktu singkat tapi tak mampu memelihara kemenangan itu. Jika ukurannya bisa memukul musuh di salah satu sesi tempur, bukan merupakan kemenangan jihad. Kemenangan jihad adalah bila mampu memenangkan pertempuran dan dapat memelihara kemenangan itu dengan tegaknya sebuah kekuasaan, karena tujuan utama jihad adalah menghilangkan hambatan dalam melaksanakan Islam dalam tataran negara.
Dengan demikian, jihad menghajatkan pula kemahiran berpolitik, selain membangun kekuatan ekonomi. Ada renungan menarik dari seorang tokoh jihad Afghan yang berasal dari Arab. Renungan ini ditampilkan oleh Hazim Al-Madani dalam bukunya Hakadza Nara al-Jihad.
Berikut catatan Hazim Al-Madani:
Hasil akhir semua rangkaian eksperimen jihad global umat Islam: kita cukup sukses dalam mencapai angka-angka keberhasilan secara militer (tempur), tapi pencapaian kita nol besar di bidang politik.  Saya ingat (kata Hazim Al-Madani), suatu hari seorang tokoh jihad Arab di Afghanistan berkata: "Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil menghidupkan kecintaan mati syahid. Tapi kita lalai memikirkan kekuasaan (politik), sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin kemenangan dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan "rahmat"  kepada kita - demikian kosa kata yang biasa mereka gunakan - untuk menjinakkan kita."
Saat itu banyak yang tak sependapat dengan refleksi ini, meski banyak pula yang sepakat. Tapi realita yang kemudian terjadi membuktikan kebenaran sinyaleman ini. Seluruh dunia mengusir eksistensi mujahidin Arab pasca perang melawan Rusia (saat itu Uni Soviet). Mujahidin yang pulang kampung 'diberi rahmat' (baca; ditangkap) oleh negeri mereka masing-masing. Demikian catatan Hazim Al-Madani.
Namun harus diingat, kalimat ini bukan dalam rangka menjustifikasi politik najis ala partai politik di Indonesia. Bukan politik kotor yang dipamerkan para penyembah dunia dengan cara mengaduk al-haqq dengan al-bathil, menyamarkan kebenaran atau mengurangi harga kebenaran. Tidak, sekali lagi tidak. Tapi yang dimaksud, politik yang kita baca dari cara Nabi saw mengelola urusan umat baik dalam masalah sosial, dakwah dan jihad di medan tempur. Politik yang bermakna mekanisme baku dalam menegakkan peradaban manusia. Jika kita melalaikan mekanisme baku yang berlaku secara global ini, kita hanya akan berputar tanpa ujung disebabkan kita tak mencontoh Nabi saw dan tidak menapaki sunnatullahnya: hukum alam sebab akibat.
Jihad bisa memakan waktu yang sangat lama, seperti Perang Salib yang berlangsung sekitar 200 tahun. Jihad Afghan saat sukses menaklukkan Uni Sovyet pada tahun 90-an menjadi pelajaran berharga buat kita. Ternyata setelah mujahidin ditolong oleh Allah sehingga mampu mengusir Uni Sovyet, mereka bertengkar sendiri dan Afghan menjadi sangat lemah dan letih dengan perseteruan internal. Alhamdulillah Allah menyelamatkan hasil jihad panjang puluhan tahun itu dengan munculnya Taliban, yang berhasil menyatukan barisan umat Islam Afghan dalam satu shaf, sebelum akhirnya dirusak kembali oleh Amerika dengan jargon "War on Terror"-nya pada tahun 2001.
Maka kita harus mengartikan jihad dengan makna perang (war) bukan pertempuran (battle). Dalam bahasa Arab juga dibedakan. Pertempuran atau battle disebut dengan qital, harb atau ma'rakah. Sedangkan perang digunakan istilah jihad. Itulah mengapa kita tak menemukan istilah dalam Al-Qur'an berupa rangkaian kata qital dengan amwal. Artinya tak ada pertempuran dengan harta. Rangkaian yang ada adalah kata jihad dengan amwal, yang artinya berjihad dengan harta. Terdapat 9 ayat yang berisi rangkaian kata jihad dengan amwal, sementara tak ada satupun ayat dengan rangkaian kata qital dengan amwal.
Ini artinya, jihad bukan semata tempur adu senjata di medan laga, karena jihad bisa dilakukan dengan harta. Kalau sekiranya jihad hanya bermakna tempur, tak ada istilah jihad dengan harta. Jihad adalah perang atau war yang bersifat semesta, meliputi seluruh elemen kehidupan manusia. Meliputi militer, politik dan ekonomi. Maka, pastikan seluruh umat Islam tahu peta kontribusi untuk jihad dalam rangka menegakkan Islam. Jangan sampai ada potensi umat Islam yang tercecer tak terrangkai dalam untaian jejaring kekuatan jihad global dalam rangka memenangkan Islam dan mengubur kesombongan kaum kafir dengan segenap anteknya.
Mujahidin Harus Menyatu dengan Umat
Mujahidin ibarat ikan, umat adalah airnya. Jika mujahidin meninggalkan umat, umatpun akan meninggalkan mujahidin. Keduanya saling membutuhkan secara berimbang. Oleh karenanya, hubungan mujahidin dengan umat mesti harmonis dan sinergis, bukan saling merendahkan bahkan saling melaknat.
Umat Islam butuh bimbingan untuk memahami Islam. Mereka perlu diberi pencerahan tentang bagaimana cara membela dan menegakkan Islam. Kontribusi mereka harus dihargai, bukan diremehkan.
Mujahidin perlu memberitahukan dengan jelas maksud perjuangannya, dengan memberi rasa aman terhadap umat Islam dari dampak yang mungkin timbul dari perjuangan tersebut. Memang dampak buruk duniawi tak bisa dipungkiri akan selalu menyertai dari setiap perjuangan.
Hazim Al-Madani, dalam bukunya hakadza nara al-jihad mengingatkan kita akan pentingnya masalah ini. Untuk sekedar diketahui, Hazim Al-Madani adalah salah seorang tokoh jihad Afghan dan punya kedekatan dengan lingkar dalam Al-Qaeda.
Berikut tulisannya:
"Saat ini, dunia internasional berkoalisi memerangi kita. Jika ada yang tidak ikut dalam koalisi ini, sejatinya bukan karena simpati kepada kita. Tapi lebih disebabkan keinginan untuk memperoleh bagian lebih besar dari ghanimah ini (kita semua adalah ghanimah bagi mereka). Meski realitanya demikian, mereka yang tidak masuk dalam koalisi internasional ini berpotensi untuk dijalin kemitraannya dengan kita. Tapi masalahnya, kita wajib mengutamakan mitra setia yang bersedia berkorban untuk kita, bukan mitra yang suatu saat akan mengkhianati kita. Dan singkat kata, mitra setia itu adalah umat Islam sendiri.
Aku tekankan poin ini dengan adanya bukti sejarah yang menguatkannya. Dengan bukti-bukti ini saya berharap putra-putra umat yang terlibat dalam kancah amal islami yakin bahwa umat mereka berdiri tegak di belakang mereka, membela mereka dan menebus pengorbanan mereka dengan apa saja yang mereka punya, tanpa pernah meninggalkan mereka berjibaku sendirian di medan pertarungan.
Afghanistan pasca hengkangnya Uni Soviet, saat dukungan pemerintah Arab dan Islam berhenti disebabkan intervensi Amerika, tatkala pemerintah-pemerintah itu tak lagi tertarik mendukung mujahidin untuk memetik buah kemenangannya. Siapakah yang mengulurkan bantuan sehingga muncul gerakan Taliban? Apakah pemerintah dan bala tentaranya itu yang membantu ataukah putra-putra umat ini? Bukankah individu-individu umat Islam yang menyisihkan sebagian penghasilannya untuk disumbangkan kepada mujahidin dengan suka rela?
Somalia, saat terjadi atraksi jihad menawan melawan koalisi internasional, siapakah yang mengulurkan bantuan kepada mujahidin sehingga tentara Amerika lari tunggang-langgang dari sana? Siapa yang melakukan atraksi jihad itu? Apakah pemerintah Somalia dengan bala tentaranya ataukah putra-putra umat Islam? Bukankah unsur umat Islam yang rela memangkas sebagian penghasilannya untuk disumbangkan kepada mujahidin dengan suka rela?
Bosnia, saat berkecamuk perang sipil yang mengerikan, siapakah yang mengulurkan bantuan untuk membela umat Islam yang menjadi korban pembantaian? Apakah pemerintah dan pasukannya ataukah umat Islam melalui putra-putra terbaiknya? Siapa yang mengulurkan bantuan ekonomi? Bukankah umat Islam yang dengan suka rela menyisihkan sebagian nafkahnya untuk disumbangkan dengan suka rela?
Chechnya, yang dua kali dihantam gelombang penyerbuan dari tentara Rusia, saat dunia sudah berada dalam genggaman hegemoni Amerika. Siapakah yang mendanai mujahidin dalam membela setiap jengkal tanah Cechnya? Apakah penguasa dan prajuritnya, ataukah umat Islam dengan segenap jiwa, raga dan hartanya?
Palestina, sepanjang untaian nestapa mereka, dan kisah heroik perlawanan Intifadhah. Semua ini menjadi contoh betapa pengorbanan sedang ditunaikan umat dan akan selalu ditunaikan.
Bahkan kita tidak tahu, apakah dukungan materi dari umat Islam itu sampai ke tangan mujahidin Palestina ataukah dirampok oleh para penguasa Arab. Di sini jelas, siapa yang berkorban dan siapa yang justru menghambat.
Yaman, siapa yang meledakkan kapal induk Amerika USS Cole hingga terkoyak. Jelas, bukan tentara Yaman, tapi unsur umat Islam.
Siapa yang menghantam New York dan Washington pada hari Selasa yang penuh berkah pada tahun 2001? Apakah para penguasa dan bala tentaranya, ataukah umat Islam? Mereka mempersembahkan putra-putra terbaiknya dan dengan sukarela membagi nafkahnya untuk jihad dan mujahidin.
Peta pertarungan telah terkunci mapan. Tapi bukan antara Barat dengan Timur, atau antara Utara dengan Selatan. Tapi antara blok kufur dengan blok iman. Ibarat dua sisi timbangan, sebelah diisi kaum kafir dengan segenap antek-antek dan perlengkapannya, dan sisi yang lain diisi mujahidin dan umat Islam dengan segenap dukungan dan perlengkapannya pula.
Jelaslah, umat Islam menempati satu papan pertarungan, sementara yang lain ditempati blok kafir dunia. Fakta ini dipahami dengan baik oleh Barat dan para penguasa dunia. Oleh karenanya, mereka selalu melakukan upaya sistematis untuk memisahkan kita (mujahidin) dengan umat Islam. Allah akan selalu menang, tapi banyak manusia yang tak meyakininya. Sesunggunya sandaran hakiki mujahidin setelah kepada Allah adalah kepada umat Islam yang selalu merindukan tegaknya undang-undang Al-Qur'an dalam kehidupan mereka hingga mereka bertemu Allah. Bukan bersandar kepada para penguasa dan aparat di negeri mayoritas muslim, karena rongga otak dan perut mereka sudah tersumbat oleh obsesi dunia dan politik yang berselera rendah.
Kewajiban mujahidin adalah menjadikan umat Islam dalam barisannya, tak boleh meninggalkan mereka sekejappun karena akan dimanfaatkan para penguasa dan hukum kufur. " (selesai, kutipan dari Hakadza Nara Al-Jihad).
Semoga kita bisa menghidupkan jihad di Indonesia dan memastikan Islam merdeka di sini. Amin.

Sabtu, 17 April 2010

Dakwah Islam Bukan Publikasi Terorisme

BETAPA sulitnya memperbaiki nasib bangsa Indonesia, karena orang-orang yang baik di negeri ini kian langka adanya. Sistem Negara demokrasi, bahkan lebih banyak memberi peluang menebar kejahatan daripada menabur kebaikan. Sudah jamak terjadi, seseorang yang dikenal sebagai tokoh baik-baik di masyarakat, begitu terlibat dalam kekuasaan pemerintahan, bukannya memperbaiki keadaan yang sudah rusak, malah dia sendiri yang diperbaiki akibat melakukan kerusakan di atas kerusakan yang sudah ada.
Dalam keadaan demikian, berlakulah firman Allah: "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada penguasa di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Qs. Al-Isra', 17:16)
Adalah kewajiban para pejabat untuk membangun Negara, menyuburkan keadilan sosial, meningkatkan kesejahteraan rakyat, membela kemanusiaan secara adil dan beradab. Dalam suatu Negara, penguasa/pejabat negara dan pengusaha adalah dua unsure mutrafin yang saling menguatkan. Apabila keduanya menjadi mata rantai kejahatan di suatu negeri, maka mereka telah memosisikan dirinya sebagai penghancur, implementasi program syetan-iblis laknatullah untuk menghancurkan rakyat dan negerinya.
Kenyataannya, penguasa yang bertindak sebagai Fir'aun selalu ingin menguasai segala hal demi melestarikan kekuasaannya. Sedangkan pengusaha, bertindak seperti Namrud yang selalu mengusahakan apa saja agar menguntungkan ushanya. Maka sekalipun kejahatan korupsi, illegal login, peredaran narkoba, dekadensi moral, berkembangbiaknya mafia hukum serta markus (makelar kasus), terbukti telah menjadi penyakit epidemi yang melahirkan keterbelakangan, ketidak adilan, dan kebodohan masyarakat. Namun, semua itu belum cukup merangsang penguasa negeri ini untuk marah, kemudian memberantas tuntas hingga ke akar-akarnya.
Bandingkan dengan tindakan represif kepolisian memberantas tindak pidana terorisme, jelas memperlihatkan kemarahan polisi (Densus 88) hingga mencapai ubun-ubun. Kulminasi kemarahan ini, justru menyebabkan sikap paranoid dan panik. Buktinya, untuk mengejar teroris dan membongkar jaringannya, polisi (Densus 88 antiteror) berani mengobok-obok lembaga pendidikan pesantren, mengawasi juru dakwah, dan mengintimidasi masyarakat publik.
Jika 'kebijakan' represif ini ditujukan untuk membasmi terorisme, guna melindungi rakyat dan menegakkan supremasi hukum, mungkin masih dapat ditolerir. Memberantas teroris kita dukung, tapi jangan salah kaprah dan overacting, dikhawatirkan upaya itu justru meresahkan masyarakat, menciptakan suasana antagonis, karena para pendakwah diposisikan sebagai orang yang dicurigai. Faktanya, kemarahan Densus 88 terhadap para teroris, identik dengan kemarahan terhadap dakwah Islam, juru dakwah, serta para mujahid penegak syari'at Islam.
Kriminalisasi Juru Dakwah
Dakwah Islam di Indonesia bagai pelita yang tak pernah padam. Ia melaju, dipandu dalam gerak estafeta generasi ke generasi sejak ratusan tahun silam. Adakalanya obor dakwah meredup, akibat kondisi internal yang melemah atau tekanan dari luar. Tapi selalu ada juru dakwah yang tampil menuangkan energi baru, sehingga obor dakwah terang kembali. Sumbu dakwah Islam tidak boleh kering dari sinar kebenaran, sekalipun rekayasa politik maupun fakta sosial menggerogoti eksistensinya.
Sedangkan para Da'i (juru dakwah) Islam merupakan urat nadi kehidupan sosial masyarakat; dan selamanya tidak pernah menjadi juru teror. Mereka senantiasa menawarkan perspektif humanistik dan ideologis, yang menyentuh peranan akhlak dan amar ma'rfu nahi munkar. Adakalanya mereka tampil di halayak umat sebagai tabib, yang dengan keramahannya bisa mengatasi frustasi dan depresi mental.
Disaat lain, seorang da'i juga aktif sebagai pengamat sosial dengan melancarkan kritik konstruktif untuk mereformasi masyarakat yang bobrok, jorok, dan bodoh menjadi masyarakat yang terhormat. Bahkan tidak jarang, para juru dakwah ini menjadi pendamping yang produktif bagi si kaya, sekaligus pendamping yang kreatif bagi si miskin.
Lalu, mengapa pemberantasan terorisme diarahkan untuk menyerang faham keagamaan yang dianggap sebagai penyulut ideologi terorisme? Ada apa di balik gagasan kepolisian untuk mengawasi dakwah para da'i dengan dalih menghentikan publikasi terorisme? Pertanyaan ini menjadi penting dan relevan, mengingat beredarnya pernyataan kepolisian terkait perlunya mengawasi aktivitas dakwah sangat meresahkan masyarakat Muslim.
Kemarahan polisi terhadap para juru dakwah, antara lain dapat dilihat dalam kasus 'kriminalisasi juru dakwah' Ustadz Abu Jibril Abdurrahman. Sebagai juru dakwah yang konsisten dengan misi penegakan syari'at Islam di lembaga Negara melalui manhaj dakwah dan jihad, sudah berulangkali difitnah sebagai 'mata air terorisme', sekalipun segala tuduhan itu hanya omong kosong belaka.
Akibatnya, tidak hanya sebatas penangkapan putranya M Jibriel, melainkan juga teror, isolasi serta intimidasi dakwah. Sejumlah masjid, yang selama ini tempatnya menyampaikan dakwah, secara sepihak membatalkan dan mencekal pengajian rutin yang biasanya diisi oleh Ustadz Abu Jibriel. Pengurus masjid dan majelis ta'lim mengaku didatangi aparat dan diteror agar tidak lagi mendatangkan beliau untuk berceramah. Segala tindakan kedzaliman dan ketidakadilan ini mengingatkan kita ke masa represif rezim orde baru yang sangat membenci syari'at Islam dan kaum Muslimin.
Prilaku aparat keamanan yang mengintimidasi masyarakat agar menjauhi juru dakwah yang berani berterus terang dengan kebenaran Islam, merupakan warisan orang-orang kafir di masa Nabi Syu'aib alaihi salam, sebagaimana firman Allah Swt:
"Pemuka-pemuka kaum Syu'aib yang kafir berkata (kepada sesamanya): "Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu'aib, tentulah kamu menjadi orang-orang yang rugi." Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah mereka." (Qs. Al-AS'raf, 7:90-91)
Maka patutlah dipertanyakan, seorang juru dakwah yang dijauhkan dari masyarakat karena dituduh sebagai teroris, apakah karena tindakan teror yang dia lakukan, ataukah stigmatisasi Amerika yang diadopsi oleh antek-anteknya di negeri ini? Lalu, apa sanksi hukum bagi mereka yang memvonis orang lain sebagai 'gembong teroris', sementara segala tuduhan keji itu tidak pernah terbukti, baik melalui pengadilan maupun fakta sosial di lapangan?
Kasus Muhammad Jibril Abdurrahman, yang ditangkap 25 Agustus 2009, adalah salah satu kasus yang sangat dipaksakan dan sewenang-wenang. Dia diculik di tengah jalan setelah polisi mengumumkan sebagai DPO. Dua hari kemudian, Densus mengantar surat penangkapan pada keluarganya. Padahal memasukkan seseorang sebagai anggota jaringan teroris, tanpa aturan dan ukuran yang jelas, lebih berbahaya dari teror. Aparat keamanan akan bertindak seenaknya melakukan penangkapan berdasarkan kecurigaan semata-mata.
Pada awalnya Muhammad Jibril disangka sebagai penyandang dana teror bom di Hotel JW Marriot dan Ristz Carlton. Setelah Duta besar Inggris datang menemui Kapolri, 27 Agustus 2009, tuduhannya berubah sebagai mantan anggota Al Qaeda, dan telah menyembunyikan korban salah bunuh Syaifuddin Zuhri. Dalam sidang pengadilan yang digelar di PN Jakarta Selatan sejak......hingga pemeriksaan saksi, semua tuduhan itu tidak dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum, tapi tetap saja dipenjara. Lalu untuk kepentingan siapa sesungguhnya penangkapan dan penahanan ini?
Proses kriminalisasi juru dakwah dilakukan melalui tiga tahapan propaganda, yaitu: Pertama, propaganda safsathah, yaitu menyebarkan informasi dusta yang dibungkus dengan data-data fiktif, seperti dilakukan oleh Sidney Jones (Direktur International Crisis Group).
Laporan berkala Sidney Jones menjadi masukan resmi Kongres Amerika, FBI, dan CIA, seringkali menipu dan memprovokasi aparat kepolisian Indonesia. Banyak hal yang dilaporkan Sidney Jones menipu orang Indonesia, bahkan mengejutkan orang yang namanya disebut dalam laporan itu, karena ia terkesan sangat menguasai hingga ke detail peristiwa radikalisme bahkan sampai ke "celana dalam" pelaku, seperti dalam laporan "The Case of The Ngruki Network in Indonesia".
Oleh karena itu, tak jelas apakah terorisme di Indonesia itu karya orang Indonesia atau mainan intelijen Barat. Apakah teroris itu pelaku teror atau korban dari permainan politik global. Kiprah Sidney Jones nampak sekali standar gandanya, tetapi yang jelas hasilnya adalah menciptakan citra negatif Indonesia di mata internasional. Pers Indonesia pun larut ke dalam teori safsathah Sidney Jones karena memang tidak ada laporan lain yang bisa menandinginya sehingga wacana terorisme di Indonesia hanya melalui satu corong, yakni corong Sidney Jones.
Kedua, propaganda Jadal, artinya menyebarkan pendapat tertentu dengan mengajukan fakta-fakta yang akurasinya diragukan. Misalnya, pernyataan mantan kepala BIN, Hendropiyono, Begitupun AM Hendro Priyono, mantan kepala BIN selama beberapa jam melakukan wawancara jarak jauh dg TVone, 17-07-2009. Yang menarik adalah kesimpulan dia bahwa kaum ekstrimis Islam yg terlibat teroris mancanegara berasal dari dua aliran dalam agama Islam, yaitu Wahabi dan Ikhwanul Muslimin.
Mantan Kadensus 88/Antiteror Polri Brigjen Pol (pur) Suryadarma Salim menyatakan, bahwa jaringan Al Qaidah berada di balik aksi pengeboman di Jakarta tersebut. Lantas, mengapa Indonesia yang menjadi sasaran para teroris itu? Sur ya menjelaskan, JI sudah ter bagi ke dalam beberapa zona. Mi salnya, Malaysia dan Singa pura sebagai zona ekonomi. "Orang luar negeri yang Muslim lebih besar menyumbangnya daripada orang Indonesia," katanya.
Nah, Indonesia menjadi daerah trainer untuk melakukan operasi-operasi. Yakni, untuk pelatih an setelah kamp JI dibubarkan Al Qaidah dan dipaksa keluar dari Afghanistan . Selanjutnya, me reka membangun kamp di Min danao , Filipina, yang disebut kamp Abu Bakar. " Indonesia tem pat melakukan operasi dengan prediksi kalau Indonesia bisa dikuasai, Indonesia akan menyerang Singapura , Malaysia , Thai land , dan seterusnya," jelasnya.
Ketiga, teori khithabi, analisa yang bersifat provokatif, dengan menebar fitnah guna merusak citra, seakan-akan segala ancaman yang menimpa adalah akibat perbuatan musuh politiknya. Misalnya, pernyataan jawara intelijen Hendropriyono ketika mengomentari peristiwa teror dengan menyisipkan fitnah bahwa para teroris ini adalah dari kelompok gerakan Wahabi, Darul Islam, Ikhwanul Muslimin ala Hasan Al Banna. Hendro dengan entengnya melemparkan fitnah tersebut sebagaimana biasanya dilakukan agen zionis dan Amerika.
Gerakan Wahabi yang diplopori oleh Abdul Wahab pada abad 19 M atau 12 H, hanya mengajak umat Islam meninggalkan akidah syirk, amaliyah yang bercampur aduk dengan kepercayaan syirk tanpa pernah melakukan kekerasan fisik, melainkan dengan ceramah dan menulis buku. Dan tidak pernah ada bukti bahwa Syeikh Abdul Wahab mendirikan laskar untuk melakukan kekerasan pada rakyat. Adapun Kerajaan Saudi Arabia di bawah pimpinan Raja Ibnu Saud yang sering melakukan tindakan represif tidak berkaitan dengan paham keagamaan, tetapi berkaitan dengan kelompok yang memberontak kepadanya.
Jadi, antara Abdul Wahab dengan prilaku Ibnu Saud di dalam menegakkan kerajaannya merupakan dua hal yang berbeda. Dan Syeikh Abdul Wahab tidak bisa dipersalahkan, apalagi Wahabi disebut sebagai pelopor teroris. Begitupun Ikhwanul Muslimin yang menjadi korban tindakan kekerasan raja Farouk dengan penjajah Inggris, sehingga Hassan Al Banna dibunuh secara keji di tengah jalan. Padahal Hasan Al Banna hanya mengajarkan Islam kepada rakyat mesir dan mengajak raja serta para pejabat kerajaan Mesir untuk menghargai agamanya, dan menyatakan tekad merdekanya dari penjajahan Inggris.
Jihad Versus Terorisme
Dialektika terorisme, secara faktual disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya kekerasan durjana dan durhaka yang hendak menaklukkan masyarakat tertindas (mustadh'afin) agar tidak berani melawan kekuatan sang penindas (mustakbirin). Kedua, terorisme yang dimotivasi oleh perlawanan rakyat tertindas terhadap penguasa zalim, sementara mereka yang tertindas itu tidak mampu melawan atas penindasan yang dideritanya kecuali dengan melakukan teror. Tujuannya, tentu saja untuk menekan si penindas yang kejam itu agar tidak melestarikan kejahatannya terus menerus.
Tindakan Israel yang menghancurkan perkampungan rakyat Palestina dan membunuh rakyat sipil. Termasuk imprialisme Amerika di Irak dan Afghanistan yang meluluhlantakkan sarana sosial, pendidikan bahkan struktur pemerintahan merupakan terorisme mustakbirin. Sebaliknya, perjuangan rakyat Palestina untuk mengenyahkan penjajah Israel menggunakan senjata seadanya, demi merebut kemerdekaannya dituduh sebagai kaum teroris oleh zionis Israel. Bahkan perjuangan rakyat Muslim di Irak dan perlawanan pejuang Taliban di Afghanistan dianggap sebagai terorisme oleh Amerika berdasarkan keputusan diskriminatif dari PBB. Padahal, bagi kedua Negara tersebut, prilaku AS bahkan lebih jahat dari kaum teroris.
Lalu, siapa sesungguhnya meneror siapa? Apabila dalam persepektif ini kita memosisikan Israel, Amerika dan Negara pendukungnya disatu pihak, dan Hamas, Al Qaidah, kelompok Imam Samudera di pihak lainnya, dengan niat dan motivasinya masing-masing; barangkali aparat keamanan tidak perlu paranoid menghadapi teror bom yang terjadi di Negara kita. Artinya, pemberantasan terorisme tidak perlu menggunakan pendekatan SARA, distorsi agama, apalagi bersikap diskriminatif terhadap juru dakwah dan aktivis Islam.
Munculnya gagasan untuk mengawasi aktivitas dakwah para Da'i Muslim, akibat terjebak dalam teori 'tangkap dulu baru kemudian diperiksa', menciptakan keresahan di masyarakat, atau meneror para Du'at yang lantang mengkritik berbagai pelanggaran penanganan teror di Indonesia, justru menjadi bagian dari aksi teror itu sendiri.
Pasca penembakan Dulmatin, muncul sikap-sikap oportunis dan munafiq, yang secara sistimatis dan radikal mengopinikan jihad sebagai tindak kejahatan. Namun anehnya, dalam menghadapi kejahatan narkoba misalnya, polisi menggunakan istilah jihad melawan narkoba. Disatu sisi jihad dimaki sebagi teror, dipihak lain kegagalan pemerintah memberantas narkoba, mereka gunakan kata jihad untuk membangkitkan semangat masyarakat memberantas narkoba. Inilah adalah sikap oportunis kaum pragmatis.
Tindakan Densus 88 yang secara sadis membunuh orang-orang yang baru diduga teroris sehingga menimbulkan ketakutan masal di masyakat, dan menyebabkan orang takut menghadiri majelis taklim tertentu karena mubalihgnya bicara jihad, dapat dikategorikan sebagai tindakan teror yang sebenarnya. Betapapun jahatnya AS ketika menangkap Hambali di Pattani, tapi CIA tidak membunuhnya sekalipun dianggap DPO yang sangat berbahaya. Begitupun pemuda Liberia mau membajak pesawat AS tidak dibunuh oleh CIA, tapi ditangkap hidup-hidup. Karena itu, atas dasar hukum apa Densus dengan mudah membunuh dan memenjara mereka yang disetigma teroris? Apakah manusiawi, memenjarakan istri yang sedang hamil tua setelah suami mereka dibunuh dengan tuduhan teroris?
Stigmatisasi Islam sebagai sumber terorisme karena adanya beberapa aktivis yang melakukan tindakan teror, tidak boleh menjadi alasan bagi tindakan represif, apalagi dengan seenaknya membunuh dan menyeret mayat tersangka teroris di jalanan. Seharusnya dipertanyakan, apakah tindakan teror yang dilakukan, muncul sebagai reaksi terhadap kezaliman yang merajalela pada suatu bangsa karena penguasanya bertindak represif kepada rakyat? Jika ternyata unsur paling dominan yang memotivasi gerakan teror disebabkan tindakan destruktif penguasa pada rakyat demi melayani kepentingan asing, maka yang bertanggungjawab atas munculnya berbagai peristiwa teror ini adalah pemerintah yang berkuasa, dan bukan agama yang dipeluk oleh tersangka teroris itu.
Dengan alasan demikian, maka terorisme yang terjadi di Indonesia harus dibebankan tanggungjawabnya pada pemerintah dan aparat keamanan yang selama ini gagal menghadirkan kesejahteraan pada mayoritas rakyatnya. Presiden SBY pernah mengatakan, bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyebab munculnya terorisme. Oleh karena itu, salah besar jika pemerintah ataupun aparat keamanan menstigmatisasi ajaran Islam sebagai sumber teroris khusunya syariat jihad.
Dalam praktik sosial, jihad fisabilillah berarti memberdayakan rakyat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta memberantas kebathilan menumpas kemaksiatan. Adapun dalam ranah kekuasaan Negara, jihad sesungguhnya merupakan suatu sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang menjadi bagian dari tata kehidupan bernegara semenjak umat manusia mengenal tatanan bernegara. Sebuah Negara pasti membutuhkan adanya tentara, alat perang, dan aturan perundang-undangan yang menjadi dasar untuk mepertahankan Negara dari serangan musuh dan rekruitmen tenaga tentara dari Negara yang bersangkutan.
Oleh karena itu, menyamakan teror dengan jihad merupakan upaya menyesatkan umat Islam dari ajaran agamanya; sekaligus membuktikan adanya ghazwul fikri yang dilakukan musuh Islam terhadap umat Islam. Begitupun perburuan Densus terhadap orang yang diduga sebagai teroris, yang ternyata hanya ditujukan pada mereka yang beragama Islam menunjukkan bahwa perang ideologi sedang terjadi dengan hebat di Indonesia. Apalagi dengan adanya usaha membagi umat Islam menjadi kelompok radikal dan moderat, militan dan toleran, yang telah merasuki sebagian dari tokoh ormas Islam sehingga mereka lebih senang memerangi saudaranya sesame Muslim daripada menghadapi agresi zionis dan salibis.
Untuk mengatasi terorisme di Indonesia, rezim pemerintahan SBY harus berani melakukan debat publik dengan rakyat Indonesia yang meragukan hal-hal yang diwacanakan oleh aparat mengenai jihad dan terorisme. Jika tidak, maka tindakan Densus 88 membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai teroris merupakan tindakan keji dan biadab terhadap rakyatnya sendiri. Wallahu a'lam bis shawab
Oleh Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Jogjakarta, 1 April 2010

Selasa, 06 April 2010

Hadits Ghulam: Mengorbankan Diri untuk Tegaknya Tauhid


Sesunguhnya dasar utama Islam adalah dua kalimat syahadat. Yaitu Asyhadu an Laa Ilaaha Illallaah wa Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah (Aku bersaksi tiada tuhan -yang berhak diibadahi- kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). Seseorang sudah dianggap masuk Islam dengan mengikrarkan dua kalimat ini.
Dua kalimat syahadat ini tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Syahadat La Ilaha Illallah tidak sempurna, bahkan tidak syah, tanpa menyatakan syahadat Muhammad Rasulullah.
Di antara makna Syahadat Muhammad Rasulullah adalah meyakini dan mengakui dengan benar bahwa Muhammad adalah hamba dan utusannya kepada manusia secara keseluruhan. Dan keyakinan dan pengakuan ini menuntut empat perkara:
  1. Membenarkan kabar beritanya.
  2. Mentaati apa yang diperintahnya.
  3. Menjauhi apa yang dilarang dan yang dicelanya.
  4. Beribadah kepada Allah dengan apa yang disyariatkannya.
Pembenaran kabar berita dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencakup pemberitaan tentang perkara-perkara yang telah berlalu, yang sedang terjadi di masa beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan yang akan terjadi. di masa depan Semua itu bukan berasal dari diri beliau sendiri, tapi karena pemberitaan dari Allah Ta'ala.
Firman Allah Ta'ala:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (QS. an-Najm, 3-4)
ذَلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ
"Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang kami wahyukan kepada kamu (Ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa." (QS. Ali Imran: 44)
تِلْكَ مِنْ أَنْبَآءِ الْغَيْبِ نُوْحِيْهَا إِلَيْكَ مَا كُنْتَ تَعْلَمُهَا أَنْتَ وَلَا قَوْمُكَ مِنْ قَبْلِ هَذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِيْنَ
"Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Huud: 49)
وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ
"Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS. al-A'raf: 188)
Hadits Ghulam
Di antara kabar berita tentang perkara-perkara yang telah berlalu adalah hadits Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam tentang kisah ghulam (seorang remaja) yang mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan dienullah, menegakkan tauhid, dan meninggikan kalimat-Nya.
* * * *
Diriwayatkan oleh sahabat Shuhaib rahimahullah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dahulu kala, pada umat sebelum kalian, ada seorang raja yang mempunyai seorang ahli sihir. Ketika ahli sihir itu sudah lanjut usia, ia berkata kepada sang raja:
إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ فَابْعَثْ إِلَيَّ غُلامًا  أُعَلِّمُهُ السِّحْرَ
"Sungguh aku telah tua, oleh karena itu kirimkan seorang pemuda kepadaku untuk kuajari ilmu sihir."
Maka sang rajapun mengirimkan seorang ghulam kepadanya yang akan ia ajari ilmu sihir.
Dan ketika di jalan yang dilaluinya menuju tukang sihir, ia bertemu dengan seorang ahli ibadah (rahib). Lalu ghulam itu duduk di dekatnya dan mendengarkan ucapannya yang membuatnya kagum.
Setiap kali mendatangi tukang sihir, ia selalu melewati si rahib itu dan singgah di tempatnya. Ketika ia sampai kepada tukang sihir, tukang sihir itu memukulnya. Maka peristiwa itu diberitahukan kepada sang rahib, lalu rahib itu berkata:
إِذَا خَشِيْتَ السَّاحِرَ فَقُلْ حَبَسَنِي أَهْلِي ، وَإِذَا خَشِيْتََ أَهْلََكَ فَقُلْ حَبَسَنِي السَّاحِرَ
"Jika kamu takut pada tukang sihir, maka katakan: keluargaku menahanku. Dan jika kamu takut pada keluargamu, maka katakan: tukang sihir telah menahanku."
Ketika dalam rutinitasnya itu, di tengah perjalanannya, tiba-tiba ia bertemu dengan seekor binatang yang  besar yang menghalangi jalan orang. Maka ia berkata:
اَلْيَوْمَ أَعْلَمُ السَّاحِرَ أَفْضَلُ أَمِ الرَّاهِبُ أَفْضَلُ
"Hari ini, aku akan tahu, apakah tukang sihir yang lebih utama (benar) ataukah sang rahib?."
Kemudian ia mengambil sebuah batu seraya berkata:
اَللّهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ الرَّاهِبِ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ فَاقْتُلْ هَذِهِ الدَّابَةَ حَتَّى يَمْضِي النَّاسُ
"Ya Allah, jika ajaran  sang rahib lebih engkau sukai daripada ajaran tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini agar orang-orang dapat melanjutkan perjalanan mereka."
Kemudian ia melemparkan batu itu sehingga dapat membunuh binatang tersebut dan orang-orang pun dapat melanjutkan perjalanan mereka.
Selanjutnya, ghulam tadi mendatangi sang rahib dan menceritakan peristiwa tersebut. Maka sang rahib berkata padanya: "Wahai anakku sekarang engkau lebih baik dariku. Sebab urusanmu telah sampai pada tarap sang kusaksikan. Dan sungguh engkau kelak akan diuji. Jika engkau diuji, janganlah engkau tunjukkan keberadaanku pada mereka."
Ghulam itu mulai mampu mengobati penyakit buta, kusta dan mampu menyembuhkan segala macam penyakit.
Pada suatu hari, orang kepercayaan sang raja yang buta mendengar berita tersebut. Lalu ia mendatangi pemuda itu dengan membawa hadiah yang banyak. Dia berkata: "Semua yang ada di sini akan menjadi milikmu jika engkau berhasil menyembuhkan penyakitku."
Pemuda itu menjawab:
إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا ، إِنَّمَا يَشْفِي اللهُ تَعَالَى ، فَإِنْ آمَنْتَ بِاللهِ تَعَالَى دَعَوْتُ اللهَ فَشَفَاكَ
"Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorangpun. Sebenarnya yang mampu menyembuhkan hanya Allah Ta'ala. Jika engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa kepada-Nya agar menyembuhkanmu." Lalu ia-pun beriman kepada Allah Ta'ala dan Allah-pun menyembuh-kannya.
Selanjutnya orang itu menghadap sang raja dan duduk sebagaimana biasanya. Lalu sang raja berkata padanya; "Siapa yang mengembalikan (menyembuhkan) penglihatanmu.?"
Dia menjawab: "Rabb-ku."
Apakah engkau mempunyai Rabb selain diriku?" tanya sang raja.
"Rabb-ku dan Rabbb-mu adalah Allah," jawabnya.
Maka sang raja langsung menghukumnya dan terus menyiksanya sehingga orang itu menunjuk sang ghulam tadi.
Kemudian dipanggilah si ghulam, lalu sang raja berkata padanya: "Wahai anakku, sihirmu luar biasa hebatnya, dapat menyembuhkan sakit buta dan kusta, kamu juga telah melakukan ini dan itu."
Maka dia berkata: 
إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا ، إِنَّمَا يَشْفِي اللهُ تَعَالَى
"Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorangpun. Sebenarnya yang mampu menyembuhkan hanya Allah Ta'ala."
"Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorangpun. Sebenarnya yang mampu menyembuhkan hanya Allah Ta'ala." jawab Ghulam
Maka pemuda tadi dihukum dan terus disiksa sehingga ia menunjuk keberadaan sang rahib."
Kemudian ditangkaplah sang rahib, lalu sang raja berkata padanya: "Tinggalkan agamamu ini." Namun ia menolak.
Lalu didatangkanlah gergaji, dan diletakkan di atas kepalanya, dan membelahnya sehingga tersungkurlah tubuhnya  menjadi dua bagian.
Lalu dibawalah orang kepercaaan raja tadi, dan dikatakan kepadanya; "Tinggalkan agamamu ini." Namun ia menolak.
Lalu diletakkan gergaji di atas kepalanya, dan membelahnya sehingga kedua bagian tubuhnya tersungkur.
Lalu dibawalah ghulam tadi, dan dikatakan padanya; "Tinggalkanlah agamamu ini." Namun ia menolak.
Lalu ia menyerahkan pemuda tadi kepada pasukannya supaya di bawa ke atas gunung dan jika sudah sampai dipuncaknya ia ditawari untuk kembali kepada agamanya semula, jika tidak mau, ia dilemparkan ke bawah."
Kemudian mereka segera membawa si ghulam naik ke atas gunung. Ketika sudah sampai di atas si ghulam berdoa:
"Ya Allah, lindungi diriku dari (kejahatan) mereka sesuai dengan kehendak-Mu."
Maka gunung itu-pun bergoncang sehingga mereka berjatuhan.
Kemudian ghulam dengan berjalan kaki menemui sang raja, lantas sang raja menanyainya: "Apa yang dilakukan pasukan yang membawamu?"
Dia menjawab: "Allah Ta'ala telah menghindarkan diriku dari kejahatan mereka."
Kemudian ghulam diserahkan kepada pasukannya yang lain, ia berpesan agar membawanya ke tengah laut dengan sebuah perahu. Jika dia mau kembali kepada ajarannya semula, maka ia selamat, namun jika tidak mau, dia dilemparkan ke tengah laut.
Lalu mereka berangkat dengan membawanya. Ketika sampai di tengah laut ghulam tadi berdoa: 
اَللّهُمَّ اكْفِنِيْهِمْ بِمَا شِئْتَ
"Ya Allah, lindungi diriku dari (kejahatan) mereka sesuai dengan kehendak-Mu."
Maka kapal itupun terbalik dan tenggelam.
Setelah itu ghulam datang kepada sang raja dengan berjalan kaki. Dan raja-pun berkata padanya: "Apa yang dilakukan pasukan yang bersamamu?"
Dia menjawab: "Allah Yang Maha Tinggi telah menyelamatkanku dari kejahatan mereka." Lebih lanjut, ghulam berkata kepada sang raja: "Sungguh engkau tidak akan dapat membunuhku hingga kamu mau mengerjakan yang kuperintahkan."
Raja berkata: "Apa itu?."
Ghulam menjawab: "Kamu harus mengumpulkan orang-orang di satu tanah lapang (lapangan), lalu kamu menyalibku di sebuah batang pohon, lalu ambillah anak panah dari tempat anak panahku, lalu letakkan anak panah pada busurnya dan kemudian ucapkan:
بِسْمِ اللهِ رَبِّ الْغُلَامِ
"Dengan menyebut nama Allah, Rabb si ghulam." Lalu lepaskanlah anak panah itu ke arahku. Sungguh jika engkau lakukan hal itu, kamu akan dapat membunuhku."
Maka sang raja-pun mengumpulkan orang-orang di suatu tanah lapang. Lalu ia menyalibnya di atas sebatang pohon. Lalu ia mengambil anak panah dari tempat anak panah ghulam. Selanjutnya ia meletakkan anak panah pada busurnya. Kemudian mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ رَبِّ الْغُلَامِ
"Dengan menyebut nama Allah, Rabb si ghulam." 
Dan kemudian melepaskan anak panah itu dan mengenai pelipisnya. Lalu si ghulam meletakkan tangannya di pelipisnya, lalu ia meninggal dunia."
Saat itu orang-orang berkata: "Aamanna bi Rabbil ghulam." Kemudian ada orang datang kepada raja dan berkata kepadanya: "Tahukan engkau apa yang engkau khawatirkan? Demi Allah kekhawatiranmu telah menjadi kenyataan, orang-orang telah beriman."
Kemudian raja itu memerintahkan untuk membuat parit berapi besar pada setiap persimpangan jalan. Dan raja itu berkata:
مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْ دِيْنِهِ فَأَقْحِمُوهُ فِيْهَا
"Barangsiapa yang tidak kembali kepada agamanya semula, maka lemparkan ke dalam parit itu!." Atau dikatakan ceburkanlah dirimu.
Maka orang-orangpun melakukan hal tersebut sehingga datanglah seorang wanita bersama bayinya. Lalu wanita itu berhenti dan menghindar agar jangan terperosok ke dalamnya. Maka bayi itu berkata kepadanya: "Ya Ummah isbiri fa innaki 'alal haq" (wahai ibu, bersabarlah, sungguh negkau berada di atas kesabaran." (HR. Muslim)
Pelajaran dari hadits di atas
Banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah di atas. Tapi di sini kami akan menyebutkan sebagaian kecilnya saja.
Pertama, adanya ujian keimanan. Hal ini seperti yang disampaikan Rahib kepada ghulam setelah dia menceritakan keajaiban yang dialaminya, "Wahai anakku sekarang engkau lebih baik dariku. Sebab urusanmu telah sampai pada tarap sang kusaksikan. Dan sungguh engkau kelak akan diuji. Jika engkau diuji, janganlah engkau tunjukkan keberadaanku pada mereka."
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala,
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. al Ankabuut: 2-3)
Kedua, Besarnya permusuhan orang kafir terhadap kaum mukminin dan dahsatnya penyiksaan mereka yang tidak berperikemanusiaan.
Kisah di atas merupakan kisah ashabul uhdud yang Allah cantumkan di dalam surat al-Buruj.
قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ (4) النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ (5) إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ (6) وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ (7) وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
"Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, Yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar,  Ketika mereka duduk di sekitarnya, Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan Karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji." (QS. al-Buruj: 4-8)
Allah, Dzat Yang menciptakan seluruh makhluk, memberi rizki mereka, dan Yang menetapkan takdir. Dzat yang Maha mengetahui, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, yang dzahir maupun yang batin, yang besar maupun yang kecil, yang jauh maupun yang dekat telah mengabarkan kepada kita bahwa orang-orang kafir akan senantiasa memusuhi kita sehingga kita berpindah mengikuti ajaran agama mereka.
Allah berfirman:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَلِئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَآءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيْرٍ
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS. Al-Baqarah: 120)
وَدَّ كَثِيْرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
"Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran." (QS. al-Baqarah: 109)
"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup." (QS. al-Baqarah: 217)
Orang yang benar kekafirannya pasti-lah mereka memusuhi kaum muslimin. Dan apabila ada di antara mereka yang tidak memusuhi kaum muslimin berarti kekafiran mereka tidak benar-benar. Sebagaimana kaum muslimin, apabila Iman dan Islam mereka benar, pasti mereka menganggap orang-orang kafir sebagai musuhnya dan sebagai ancaman. Tapi dalam memusuhinya, mereka memiliki aturan-aturan syar'i yang harus dipatuhi. Dan apabila ada kaum muslimin yang menganggap orang-orang kafir sebagai teman, kawan bahkan saudara tanpa ada keyakinan sebagai musuh lalu diikuti dengan berkasih sayang dan saling berwali maka Iman dan Islam mereka perlu dipertanyakan.
Allah Ta'ala berfirman:
"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya, dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung." (QS. al-Mujadilah: 22)
Salah satu cara menanggulangi permusuhan mereka adalah dengan senantiasa menjaga keimanan dan mempersiapkan kekuatan. Supaya mereka merasa gentar dan tidak bisa menuruti kedengkian mereka.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَاسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّهُمْ وَءَاخَرِيْنَ لَا تَعْلَمُوْنَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوْا فِي سَبِيْلِ اللهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. al-Anfal: 60)
Ketiga, Keberanian membela dan mengatakan kebenaran.
Keberanian ini ditunjukkan oleh ghulam ketika menyatakan di hadapan raja dzalim yang mengaku sebagai tuhan, bahwa Tuhannya adalah Allah, bukan raja. Dia juga menyandarkan kesembuhan kepada Allah melalui ucapannya, "Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorangpun. Sebenarnya yang mampu menyembuhkan hanya Allah Ta'ala."
Tentunya dia paham resiko yang akan dihadapi ketika menyatakan hal tersebut. Namun, dengan taufiq dari Allah dia tetap menyatakan kebenaran di hadapan raja, tanpa harus menyembunyikan atau berkilah di hadapannya. Rasa takutnya kepada Allah jauh lebih besar daripada takutnya kepada raja.
Ini adalah bentuk jihad fi sabilillah, bahkan termasuk jihad yang paling utama. Karena subtansi dari jihad adalah upaya dan kesungguhan untuk meninggikan kalimatullah di muka bumi. Berkaitan dengan ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيْرٍ جَائِرٍ
"Jihad yang paling utama adalah berkata yang adil (benar) di hadapan pemimpin yang jahat." (HR. at-Tirmidzi dan ibnu Majah)
Dan berjihad dengan berkata yang benar dan jujur walau apapun akibatnya adalah salah satu dari tujuh pesan Rasulullah kepada Abu Dzar radliyallah 'anhu,
"Dan beliau menyuruhku untuk mengatakan al-hak (kebenaran) walaupun pahit rasanya * dan supaya aku tidak takut celaan orang yang mencela." (HR. Imam Ahmad)
Dalam beberapa hadits lain, Rasulullah mencela sikap diam dari mengatakan kebenaran karena takut kepada manusia ketika kondisi menuntutnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ رَهْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ. فَإِنَّهُ لَا يُقَرِّبُ مِنْ أَجَلٍ، وَلَا يُبَاعِدُ مِنْ رِزْقٍ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ أَوْ أَنْ يُُّذَكِّرَ بِعَظِيْمٍ
"Ingatlah! janganlah ketakutan pada manusia menghalangi salah seorang kalian mengatakan kebenaran jika ia melihat dan menyaksikannya. Karena mengatakan kebenaran atau memperingatkan perkara yang besar tidak mendekatkan ajal dan tidak menjauhkan rizk." (HR. Ahmad)
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang lain, "Janganlah salah seorang kalian menghinakan dirinya sendiri, yaitu ketika ia melihat salah satu perkara Allah yang ia harus mengatakannya tapi ia tidak mengatakannya. Kelak pada hari kiamat ia akan ditanya; "apa yang menghalangimu untuk mengatakan ini dan itu?" ia menjawab: "takut pada manusia" maka Allah berfirman: "kepadakulah engkau lebih layak takut"." (HR. Ahmad)
Oleh: Purnomo
(PurWD/voa-islam.com)